Rabu, 28 Maret 2018

NILAI DASAR BUDAYA BATAK

Mmm..buka-buka file di laptop, nemu tulisan ini. Ternyata saya pernah membuat tulisan tentang nilai dasar budaya Batak. Sepertinya ini tugas kuliah jaman S1 atau cuma sekedar tulisan di waktu senggang. Saya kurang ingat. But seems like it's worth it to share. Silahkan membaca buat yang tertarik dengan budaya Batak atau yang sekedar ingin tahu. Feel free to read and comment ^_^ 




 *******


D
alam falsafah Batak ada 3 tujuan utama yang dikejar-kejar oleh setiap orang Batak, yakni HAMORAON (kekayaan), HAGABEON (perkembangan), dan HASANGAPON (kemuliaan).





Hamoraon ditunjukan oleh parsonduk na bolon (tempat makan bagi orang kelaparan) dan inganan marsingir (tempat berhutang). Bagi orang Batak memberi pinjaman adalah hal wajib, shg hanya bisa dilakukan oleh orang kaya dan inilah yg menunjukan kekayaannya. Di sisi lain meminjam adalah sesuatu yang tabu dan bisa dianggap ‘tarhatoban’ (terbeban seperti budak).

Hagabeon ditunjukan oleh kelengkapan partuturan, yakni segala tutur telah dimiliki/dipunyai. Dengan demikian orang tersebut dapat menjalankan perannya secara lengkap dan baik sbg dongan tubu, hula2 dan boru. Pergiliran peran seperti inilah yang merupakan cita2 dalam konsep Hagabeon. Itu sebabnya, sebenarnya sifat budaya Batak adalah tepa selira atau empati. Sifat ini dinyatakan dalam pesan somba marhula-hula, manat maradongan tubu, elek mardongan tubu. Dengan kata lain, ndang bahenonmu na so denggan tu borrum, sotung songon i annon dibahen hula-hulam. Kelengkapan partuturan dan pergiliran peran dalam adatini hanya mungkin dilakukan jika sudah punya anak banyak dan semakin sempurna apabila anak2 tsb sdh menikah dan punya anak dan cucu.

Yang terakhir yakni Hasangapon, dicapai seseorang apabila memiliki kemampuan spt hagogon (kekuatan), hapistaron (kepintaran/keterampilan), habisukon (kebijaksanaan) yg mana kemampuan tsb diberikan/dilakukan untuk menolong masyarakat atau orang-orang yang dalam kesulitan. Jadi, orang-orang yang memiliki hagogon, huaso, tapi tidak menggunakannya untuk kepentingan publik bahkan merugikan masyarakat atau menyusahkan org tidaklah sangap. Tidaklah sangap Jenderal Maraden Panggabean dan anggoya-anggota tim damainya, Juan Felix Tampubolon dan para pengacara Soeharto, tukang-tukang Intelektual bayaran (Affan Gafar, Indria Sumego, Yusril Ihza Mahendra), dll.

17 +16 = 33

Berkaitan dengan konsep Hagabeon, ada sebuah ungkapan “maranak sappulu pitu marboru sappulu onom” yang artinya punya anak laki2 17 dan anak perempuan 16, yang acapkali kita dengar dalam upacara adat perkawinan Batak. 33 secara nominal bukanlah angka yang kecil dalam sebuah keluarga inti. Apakah ungkapan itu realitas, utophia (khayalan) atau harapan? Dalam adat Batak anak itu adalah investasi kekayaan dan kekuatan. Maka, dengan punya anak banyak investasinya semakin banyak pula.

Berbeda dengan masyarakat Minang Kabau yang mengagungkan anak perempuan (matrimonial), Batak sangat mengutamakan anak laki2 (patrimonial). Jumlah anak laki2 yang lebih banyak dari perempuan dalam ungkapan di atas, merupakan cerminan sangat patrimonialnya etnis ini. Anak laki lebih diutamakan dalam perlakuan, peluang dan warisan, terutama anak laki2 sulung karena dia ditempatkan sebagai pengganti ayahnya.

Kedudukan anak perempuan Batak 

Dalam budaya Batak, laki-laki lah yang disebut anak sedangkan anak perempuan disebut boru. Ini jelas dari penulisan nama. Anak laki2 di belakang namanya langsung memakai marga, sedangkan anak perempuan dibuat boru. Contoh; anak laki-laki diberi nama Parlindungan Hutabarat dan anak perempuan diberi nama Lastiur boru Hutabarat atau lastiur br Hutabarat.

Anak laki-laki Batak dianggap sebagai tondi (jiwa) dalam sebuah ripe (keluarga) dan penerus generasi atau silsilah marganya. Ketiadaan anak laki-laki dalam sebuah keluarga Batak dianggap tlh memutuskan mata rantai darah dagingnya. Harapan mereka semakin banyak anak maka perkembangan marganya semakin luas, terutama anak laki-laki karena akan meneruskan marganya pada anak dan cucunya.

Setiap keluarga baru Batak pasti selalu berharap segera mendapat keturunan laki2. jika yang dilahirkan sang istri adalah anak perempuan, anak tersebut biasanya diberi nama ‘romaito’ (datanglah saudara laki-laki) atau ‘roitona’ (datang saudara laki2nya) dsb sebagai tangiang (doa) akan kehadiran adik laki-laki bagi anak tsb. Namun apabila sang istri belum juga memberi anak laki-laki, maka poligami pun terjadi lepas dari kata setuju/tidak setujunya istri. Karena dalam prinsipnya, kegagalan mendapatkan anak laki-laki adalah kesalahan istri sepenuhnya.

Walaupun bersifat patrimonial, Batak tidaklah murni patriachat, yaitu suami mencari nafkah buat rumah tangga, melindungi dan melakukan kontrol sedangkan istri bertugas melahirkan anak (Pelly). Ada beberapa kenyataan bahwa peran rumah tangga banyak berada di tangan istri. Mereka yang berusaha spt bertani, berdagang (marengge-rengge), membina dan menyekolahkan anak serta memberi restu pada calon suami putrinya. Hampir semua urusan keluarga dipegang oleh istri, suami hanya memegang secondary role.

Martarombo 

Memiliki banyak anak berarti persebaran marga akan semakin meluas. Oleh karena itu diperlukannya martarombo/martutur. Martarombo digunakan untuk mengetahui identitas seseorang Batak agar setiap keluarga  terpelihara rasa kekeluargaan dan kekerabatannya.

Pada pertemuan pertama, biasanya yang ditanyakan pertama sekali adalah marga. Seolah nama tidak begitu penting. Dan bila ternyata satu marga, pertanyaan akan diteruskan dengan nomor atau peringkat keberapa dst, sampai diketahui siapa yang bertaraf adik, anak atau cucu. Dengan begitu hubungan kekeluargaan tetap terpelihara dan hal2 yang ditabukan dalam tata hubungan antar marga dan perkawinan dapat dihindari.

Mengawini perempuan satu marga adalah pantangan karena dianggap masih satu darah. Dlm sistem perkawinan, adat Batak sangat menganjurkan eksogami (kawin dengan perempuan dari marga atau daerah lain) dan sistem pariban (cross-causin) karena dapat memperkuat kekeluargaan, pertalian dengan keluarga ibu tidak terputus dan karena kepentingan warisan.

Pembaharuan telah terjadi

Kebudayaan itu bersifat dinamis (Carol R Ember). Begitu pula dengan Costum Batak telah berubah seiring dengan perjalanan sejarah dan tantangan zaman dalam berbagai kehidupan. Masuknya agama Islam dan Kristen ke daerah ini berimplikasi pada perubahan berupa akulturasi, inovasi, difusi dan adaptasi.

Seperti halnya masyarakat Mandailing, masuknya ajaran Islam telah merubah aturan perkawinan budaya Batak. Islam hanya melarang perkawinan dengan muhrim, sedangkan perkawinan dengan boru tulang, satu marga diperbolehkan selama bukan muhrim.

Ajaran Kristen yang mendominasi masyarakat Toba melarang adanya poligami dan perceraian dengan konsekuensi anak laki-laki yang dilahirkan hasil poligami/bukan dari perkawinan yang pertama tidak direstui oleh gereja.

Patrimonialisme masyarakat Batak dan ambisi untuk memperoleh banyak anakpun telah bergeser karena timbulnya kesadaran masyarakat Batak akan pendidikan dan mobilitas penduduk. Kuantitas bergeser ke arah kualitas anak untuk mampu hidup dan bersaing di era globalisasi. Pepatah ‘maranak sappulu pitu marboru sappulu onom’  telah ditransformasikan menjadi ‘bintang na rumiris ombun nasumorop,dua atau tiga anak ido nariris (ideal) jala natorop (besar) asal ma goppis-goppis (sehat) jala momok (gemuk).

Dengan falsafah tersebut ditambah dengan program KB yang digencarkan pemerintah serta tuntutan kesetaraan gender yang sekarang sedang marak-maraknya, masyarakat Batak sdh menganggap anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama karena mereka adalah anugrah Tuhan yang harus diterima, dididik agar kelak akan membesarkan nama baik keluarganya.

Posisi istri dalam rumah tangga juga mengalami evolusi ke arah kesetaraan. Namun, adalah mustahil Batak menjadi matriachat.



Referensi: - http//www.yahoo.com
                 - Sinar Indonesia Baru
                 - Mingguan Bonopasogit


Devira Sari
2006


Tidak ada komentar:

Posting Komentar