Jumat, 24 November 2017

Tentang Bullying




Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman dari kampus sebelah. Saat saya datang, ia dan temannya yang sedang membahas tentang bullying. Kemudian mereka menanyakan pendapat saya sebagai orang psikologi. Saya langsung teringat video ini dan menunjukkan pada mereka. Check the video below :")





Di video ini dipaparkan apa sih motif nya pembully --> Hasrat untuk menang. Lalu kenapa ada orang yang begitu bernafsu ingin menang bahkan sampai melakukan tindakan yang tidak pantas? Menurut saya jawabannya sederhana. Frustrasi.

Frustrasi, berasal dari bahasa Latin "frustratio", adalah perasaan kecewa atau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Semakin penting tujuannya, semakin besar frustrasi dirasakan. Rasa frustrasi bisa menjurus ke stres. Lebih jauh lagi frustrasi dapat menjurus ke perilaku agresi. Menurut teori lawas dari Dollard et al (1939) bahwa frustrasi pasti akan menimbulkan agresi dan agresi muncul karena frustrasi. Teori ini dikenal sebagai teori frustrasi-agresi. Kemudian Miller (1941) merevisi teori ini. Menurutnya frustrasi tidak selalu menimbulkan agresi. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki kebebasan memilih respon yang akan dimunculkannya. Ada bermacam respon yang dapat dihasilkan oleh frustrasi itu sendiri, sehingga tidak pasti menimbulkan agresivitas. Teori yang lebih baru Berkowitz (1989) yang mengatakan bahwa hanya frustrasi yang menimbukan rasa marah yang memicu perilaku agresif. (Mungkin ada teori yang lebih baru boleh dishare ^_^)

Lalu, coba bayangkan ada seseorang yang menginginkan sesuatu dan berusaha keras untuk mendapatkannya. Namun pada akhirnya malah orang lain (yang menurutnya tidak berusaha sekeras dia) yang mendapatkannya. Frustrasi sekali kan? Kemudian orang yang frustrasi tersebut bereaksi dengan membully hingga membuat korban bully ikut frustrasi juga. Lalu apa yang terjadi? Korban bully membalas dengan menjadi pembully newbie. Begitu seterusnya hingga menjadi semacam cycle of violence. Membayangkannya saja sudah membuat frustrasi yaa :D

Di video ini, ada trik bagus dalam menghadapi pembully yaitu membalasnya dengan kasih sayang. Tentu sulit untuk standar manusia bukan setengah malaikat seperti kita untuk mengasihi pembully. Saya sendiri merasakan keefektivan cara di video tersebut. Namun, di satu titik saya menyadari ada orang yang semakin dikasihi malah semakin ganas. Nahh, di situ saya teringat statement JK Rowling : "don't pity the dead, pity those who live, espesially those who live without love". Kalau tidak bisa mengasihi, kita bisa mencoba mengasihani. Karena memang ada orang-orang tertentu yang tidak paham bahwa dirinya hanya butuh cinta.

Saya termasuk orang yang menentang agresi dalam bentuk apapun. Hidup memang keras dan tidak adil. Kenyataan sering kali rasanya pahit. Tapi itu bukan berarti dapat dijadikan justifikasi untuk menyakiti atau menghalangi hak orang lain. Saya yakin pasti ada cara untuk mendapatkan tujuan selain dengan agresi. Saat saya katakan hal itu, teman dari teman saya berkata spontan, pasti hidup saya senang-senang saja dan tidak pernah berada di situasi sulit yang memaksa saya berbuat di luar batas. Kata siapa?? Semua orang punya masalahnya masing-masing, punya "luka" masing-masing. Setiap orang memiliki porsinya masing-masing. Hanya saja tiap orang berbeda-beda dalam bereaksi terhadap masalah yang dihadapinya.

Beberapa waktu lalu di tengah kegalauan, saya bertukar pikiran dengan seorang dosen. Beliau menasehati saya bahwa kita tidak bisa memilih kehidupan seperti apa yang datang pada kita, namun kita bisa memilih bagaimana reaksi yang kita munculkan. Jika tidak mampu memilih reaksi apa yang tepat, maka tidak bereaksi menjadi pilihan yang paling tepat. Bodoh sekali yaa? Nope. Ada kalanya diam itu emas. Sakit? Iya. Tapi jika sudah melaluinya, baru sadar bahwa semua baik-baik saja. Itu lah hidup. Dan jelas itu jauh lebih baik dari pada salah bertindak, masuk jurang dan menyesal.

Semua sudah ada yang mengatur, Dia Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik.
InsyaAllah istiqomah ^__^
.
.
Just sharing, semoga bermanfaat.
Perjalanan menuju Bandung,
23 November 2017.


Jumat, 19 Mei 2017

TENTANG 3 IDIOTS (hindi film 2009)

3 IDIOTS. 



Hari Sabtu, berhenti sejenak dari kegiatan yang berhubungan dengan penelitian, kasus-kasus di kerja praktek dan tesis. Namun hari saya tidak ingin kemana-mana. Maka saya putuskan untuk di kamar kos saja, streaming film. Tadinya sih ingin cari film baru, tapi kemudian saya teringat film yang identik dengan statement "aall iiizz welll" ini. Film lama yang sudah beberapa kali saya tonton dan tetap terasa menginspirasi. 

Film ini bercerita tentang seorang anak muda genius (Rancho) yang berasal dari keluarga miskin namun punya minat belajar yang tinggi. Dari kecil Rancho sering diminta mengerjakan PR-PR anak majikan ayahnya yang kaya raya. Majikan ayahnya adalah orang besar namun sering dihina orang lain karena buta huruf. Tak jauh berbeda dari si orang kaya, anaknya pun kurang punya minat ke arah akademis. Sementara Rancho karena suka belajar sering berpura-pura menjadi siswa, memakai pakaian seragam sekolah dan mengerjakan tugas mata pelajaran siswa yang jauh di atas usianya. Kemudian kemampuannya ini mendapatkan perhatian dari kepala sekolah. Kepala sekolah juga mengetahui bahwa Rancho lah yang mengerjakan PR-PR anak majikannya. Untuk menjaga nama baik keluarga, si orang besar kemudian bekerja sama dengan kepala sekolah dan memberikan kesempatan kepada Rancho untuk bersekolah dengan beberapa syarat.  Syarat yang diajukan adalah nama yang ia pakai saat sekolah dan yang tertulis di ijazah adalah nama anak orang besar tersebut. Dan setelah Rancho menyelesaikan studinya hingga sarjana, ia harus pergi dari kota itu. Sesuai perjanjian, Rancho bersekolah menggunakan nama anak si majikan. Lalu ia menyelesaikan studinya di kampus teknik terbaik sebagai lulusan terbaik. Kemudian ijazah diberikan pada anak majikan dan ia pergi dari kota itu setelah diwisuda.

Cerita di film ini dibuat menarik sekali dengan setting perkuliahan yang strict dipadukan dengan humor. Kisah persahabatan Rancho dengan dua temannya menjadikan alur cerita di film ini sangat menarik. Rancho sering memiliki pemikirannya sendiri yang berbeda dengan standar aturan yang ada di kampus. Sedangkan kedua temannya memiliki kendala dalam mengikuti pelajaran. Yang satu, Farhan, seorang dengan bakat dan minat fotografer alam yang tersesat dalam mimpi orang tuanya menjadi engineer. Yang satu lagi, Raju, seorang yang hatinya adalah engineer namun beratnya tekanan hidup membuatnya tidak maksimal dalam belajar. Masalah terbesar mereka adalah saat menghadapi direktur kampus yang keras dengan prinsip pendidikan yang ia yakini : Life is a Race, jadilah nomor 1 karena orang-orang tidak peduli dengan yang nomor 2. Persahabatan yang unik dan tingkah yang berbeda dari mayoritas mahasiswa dari 3 sahabat ini membuat mereka dijuluki 3 Idiots. 

Selain kisah persahabatan para idiots, film ini juga menyuguhkan kisah cinta yang romantis antara si jenius dan dokter cantik dan pintar, yang merupakan anak dari direktur kampus yang strict. Walaupun ditentang orang tua, sempat terpisah sekitar 10 tahun, dan si dokter nyaris menikah, pada akhirnya mereka dapat bersatu kembali.

Ada banyak lesson learned dari film ini. Berikut lesson learned yang dulu pernah saya tuliskan somewhere, kurang lebih masih sama dengan pemahaman saya mengenai film dari 8 tahun yang lalu. 

1. Bahwa bagi beberapa orang, tak ada reward dari kompetisi apapun dan tidak ada luka hati sedalam apapun yang bisa mengalahkan kebahagiaan karena mendapatkan kesempatan untuk belajar.

2. Bahwa beberapa orang memiliki standar kesuksesannya sendiri, yang berbeda dengan standar kesuksesan yang dipercaya kebanyakan orang di dunia.

3. Bahwa ikan tidak akan pernah sukses menjadi pemanjat pohon profesional. Seperti Farhan, yang "cinta"nya pada natural photography namun dipaksa "menikah" dengan engineering. Ia tidak dapat memaksimalkan bakatnya namun juga tidak dapat menjadi engineer yang bagus. Dan lebih dari itu, ia tidak akan bahagia.


4. Bahwa kesulitan dan keadaan terpojok dapat membuat orang melakukan tindakan-tindakan irasional. Dan saat-saat seperti itu, dukungan dari orang terdekat menjadi hal yang paling penting untuk mengangkat orang tersebut dari keterpurukan.

5. Bahwa di dunia ini ada jenis orang yang tidak desperate hanya karena dilabel tidak cerdas (bahkan idiot) sebagai akibat dari tidak mengikuti standar mayoritas.

6. Bahwa tidak perlu memaksakan sesuatu agar menjadi milik kita, karena hal yang memang milik kita akan menemukan jalannya kembali pada kita. 

7. Bahwa sekeras apapun kelihatannya seseorang, manusia tetaplah manusia. Punya hati. Biasanya orang yang terlihat sangat keras, dulunya merupakan orang yang sangat halus. Namun ada sesuatu dalam perjalanan hidupnya yang tidak kita ketahui, yang membentuk pribadinya menjadi seperti sekarang. Yang perlu kita lakukan bukanlah memaafkan orang itu karena keras hatinya, melainkan memaafkan diri kita sendiri karena memberi penilaian dalam ketidakpahaman.

8. Bahwa seberapa pun kejamnya kehidupan menempa dan memaksa kita berubah, akan ada bagian dari diri kita yang tetap sama. Itulah diri kita yang sejati, yang mungkin tidak terlihat namun dapat dirasakan dan dipahami oleh orang-orang yang benar-benar mengenal kita.

9. Dan pada akhirnya, semua akan baik-baik saja. Al iz well (all is well). Terkadang yang kita butuhkan hanyalah keyakinan bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang mengatur segala yang ada di dunia. Al iz well, karena pencipta kita telah menyiapkan skenario terbaik untuk kita.

---------- OoO ----------

Devira, 20 Mei 2017
@Ciseke, Jatinangor

Rabu, 01 Maret 2017

Cerpen : TEMPAT UNTUK KEMBALI

TEMPAT UNTUK KEMBALI
Cerpen karya : Devira

Anna masih terbaring gelisah di ranjangnya. Bola matanya tampak bergerak-gerak di dalam kelopaknya. Mimpi itu datang lagi. Setiap kata-kata yang keluar dari orang di dalam mimpinya tak mampu diredam hujan yang deras. Masih sangat jelas, suara orang itu membuat hatinya berontak. 
“Anna. Hentikan! Aku tak suka melihat orang yang membohongi dirinya sendiri!”
Mata Anna refleks terbuka. Peluh mengalir di wajahnya. Dadanya sesak seolah-olah ada rantai yang dililitkan di tubuhnya yang dingin. Anna berusaha menahannya dengan nafas berat. Ia masih ingat. Seluruh tubuh orang itu yang kuyup diguyur hujan dari rambut panjangnya hingga kaos oblong tosca dan band biru tua di pergelangan tangan kanannya. Mata orang itu sendu namun cukup tajam untuk menghujam jantungnya.
Anna beranjak dari tempat tidur lalu membuka jendela kamarnya. Hari masih gelap. Ia memejamkan mata sambil menarik nafas dalam-dalam. Satu kali, dua kali, tiga kali. Mengisi paru-parunya dengan udara dingin. Kemudian ditutupnya kembali jendela itu.
Udara dingin mengisi paru-parunya, mengalir ke saraf-saraf otaknya dan menetralkan pikirannya dari bayang-bayang itu. Ia tak perlu menoleh ke kiri atas, ke arah jam dinding yang berada di atas rak bukunya. Ia menyadari ini belum lagi subuh dan tak bisa melanjutkan tidurnya lagi.
Seperti biasa, ia menghampiri kamar pakaiannya. Ada sesuatu di sudut sana, tertutup oleh kain tosca tua tebal. Ia tak pernah membukanya, namun ia tahu betul apa yang ada di balik kain tersebut. Sebuah gitar klasik akustik murahan. Matanya berkaca-kaca menahan pedih dalam dadanya. Seharusnya benda itu sudah dibuangnya 10 tahun lalu. Seharusnya. Ia segera menepis perasaannya dan beranjak dari sana.
***
“Mau beli gitar juga, Nak?” ia berada di sebuah pamaren alat musik, di Mall, ketika seorang nenek bertanya padanya.
“Hah...enggak Nek.” Ia kaget, namun mampu merubah wajah terkejutnya menjadi sebuah senyuman hangat. Ia melihat si nenek yang ternyata bersama seorang anak lak-laki 6 atau 7 tahun, pikir Anna.
“Cucu nenek mau belajar gitar. Dari umur 3 tahun sudah kelihatan minatnya di bidang musik.” Anna tidak begitu memperhatikan kata-kata si nenek. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya di sana.
“Kamu main gitar juga?” tanya si nenek.
“Umm..enggak nek,” Anna masih setengah menerawang, tak yakin dengan jawabannya. Ia merasa tidak nyaman namun tetap berusaha menjaga sikap. Si nenek kian dalam memperhatikannya,  melanjutkan pembicaraan.
“Kau tau nak. Kau sangat cantik.” kata si Nenek.
“Makasih, Nek,” Anna menampilkan senyum yang sangat manis.
“Senyummu sangat manis,” lanjut nenek. “Tapi kau tau itu tidak ada gunanya.”
“Aa..” Senyumnya sedikit meredup. Matanya bergerak-gerak, ia mencoba mencari kata-kata tapi kemudian ia putuskan untuk tidak berbicara.
“Anakku...meski kau tersenyum dengan sangat manis untuk memberikan kesan bahagia pada orang lain, tetap saja kau tak bisa membohongi dirimu sendiri.” Anna tertegun. Nenek menatapnya dengan lembut. Garis-garis kebijaksanaan di sekitar matanya terukir oleh kehidupan yang panjang dan berliku. Kemudian si nenek melangkah mendekat memegang pundak Anna, “Bahkan mataku yang rabun ini dapat melihat lubang yang besar di hatimu.”
Kali ini Anna tak dapat menahan ekspresinya. Senyum yang ia buat telah sepenuhnya hilang. Ada getaran hebat di dadanya. Ia berbalik badan, pergi.
“Jangan lari dari rasa takut, anakku. Jika kau lari, ketakutan itu akan mengejarmu,” sambil mengelus kepala cucunya yang masih memilih-milih gitar, si Nenek berkata.
            “Kembalilah...Hanya dengan begitu kau akan bahagia.”
Rasanya Anna ingin berhenti dan berbalik. Tapi, tidak! Ia telah memutuskan untuk tetap berjalan ke depan dan tak pernah lagi menoleh ke belakang.
***
Di depan cermin yang buram  Anna menatap sepasang mata yang sedang menatapnya.
“Sebenarnya siapa aku ini?” ia membathin. Menghapus embun di cermin, berusaha melihat lebih jelas dirinya sendiri. “Tak seorangpun tau siapa aku. Bahkan aku...”
“... kau tak bisa membohongi dirimu sendiri.” wajah nenek yang ditemuinya tempo hari berkelebat di cermin. Rahangnya seketika menegang dan tatapan kosongnya berubah nanar. “Bahkan mataku yang rabun ini dapat melihat lubang yang besar di hatimu.” Si nenek masih tersenyum lembut di dalam cermin. Lubang itu, ia pun bisa melihatnya. Ia berusaha keras tidak melihatnya, tapi gambaran itu semakin jelas. Silih berganti seperti video yang di fast-backward kemudian fast-forward kembali. “Jangan lari dari rasa takut, anakku. Jika kau lari, ketakutan itu akan mengejarmu.”
“..aku tak suka melihat orang yang membohongi dirinya sendiri!” Suara orang yang selalu datang dalam mimpinya menggema, memantul dari dinding-dinding lembab ruangan itu. Rasa dingin kembali menghujam perutnya. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya tapi tidak bisa. Mungkin karena ada sesuatu yang menahan atau mungkin karena tak ada yang dapat ia keluarkan. Sesuatu di kepalanya mengerang hebat, memohon kepada Tuhan untuk melepaskannya dari penderitaan. Air matanya mengucur deras. Tangannya mengepal di atas dadanya, menahan rasa sakit di sana.
“Aku memang pembohong, Han. Kau pantas membenciku.” Anna menghabiskan malam itu merangkul dirinya sendiri di lantai yang basah dan dingin.
***
Bermil-mil dari tempat dingin itu, Han sedang memandang ke arah pemandangan salju dari jendela apartemennya. Desember memang selalu dingin di situ. Sama dinginnya dengan yang ia rasakan di dalam hatinya, dalam kesendirian. Ia yang selalu menyukai kesendirian sambil menulis syair-syair dan menggubah lagu-lagu. Ia selalu menemukan kedamaian dan jati dirinya dengan hanya mendengarkan suara hatinya. Kapan tepatnya ia membenci kesendirian itu? Kapan tepatnya kesendirian itu berubah menjadi bayang-bayang yang membelenggu dan menenggelamkannya dalam lubang besar dalam hatinya? Kapan tepatnya ia mulai meragukan kata hatinya? Ia yang selalu penuh keyakinan telah menyerah pada takdir. Tapi benarkah? Benarkah ia menyerah. Tidak ada manusia yang mampu membohongi hatinya sendiri, bukan? Bahkan dirinya sendiri meyakini itu karena kenyataannya ia tetap sendiri. Ya, ia membenci kesendirian, namun ia tetap membiarkan dirinya dalam kesendiriannya. Pikirannya hanya miliknya sendiri, perasaannya hanya miliknya sendiri. Ia telah menciptakan berpuluh-puluh simfoni yang dinikmati banyak orang. Untuk siapa karya-karya itu dibuat?
Ia menatap sebuah tiket penerbangan di tangan kirinya. Sekali lagi ia ingin mempercayai hatinya. Tidak, sebenarnya hatinyalah yang terus memaksa untuk tetap percaya. Ia harus kembali.
Ia meletakkan tiket tersebut di atas meja di sebelah kirinya, tanpa berpindah posisi. Salju putih masih terhampar di hadapannya. Warna putih itu menyilaukan, memantulkan cahaya matahari. Ia melepaskan kacamatanya dan mengusap wajahnya dengan telapak tangan kirinya, mencoba menghapus bayang-bayang di sana. Namun, sekali lagi, tak ada manusia yang mampu membohongi dirinya sendiri. Di dalam lubuk hatinya, ia sepenuhnya mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya ada satu jawaban, Anna.
***
Anna menginjakkan kakinya kembali di kota itu. Ia duduk di bangku panjang di sebuah taman, tempat dimana seorang musisi miskin yang bercita-cita go international pernah mengajarinya teknik bermain gitar. Ia memandang ke sekeliling taman. Sudah banyak berubah, pikirnya. Tentu lah banyak perubahan. 10 tahun berlalu sejak ia pergi, lari dari perasaannya sendiri. Dirinya saat ini sendiri juga sudah banyak berubah.
Ia mendongak melihat gumpalan-gumpalan awan putih yang berarak di atasnya. Lalu ia memejamkan mata, menarik napas dan menghirup udara di sana. Tangannya menggenggam tepi bangku di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Angin berhembus pelan, sementara ia mengenang setiap momen yang ia lalui di sana. Wajah itu, tawa itu, suara itu...
“Aku tau kamu akan kembali....” Anna mendengar suara itu, namun kali ini lebih jelas dari ingatan yang sedang ia putar di kepalanya. Ia membuka matanya perlahan. “...Anna.”
Di depannya sosok itu berdiri. Penampilannya banyak berubah dari terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya lebih pendek dan tersisir rapi sekarang. Wajahnya tampak tegas dalam kedewasaan. Matanya yang sendu kini dibingkai oleh lensa kaca mata. Ia tak lagi memakai kaos oblong dan band biru tua di pergelangan tangan kanannya. Namun dari tatapan matanya, Anna yakin bahwa perasaan di hatinya tidak berubah sama sekali. Anna tersenyum, hatinya terasa sangat tenang. Ia tahu ia sudah seharusnya berada di sana. Lalu ia berdiri dari tempat duduknya, melangkah ke depan dan melingkarkan lengannya ke leher laki-laki yang balas merangkulnya itu.
“Han....”

***

Sudah diterbitkan di Rebana Analisa Minggu
06 September 2015