Jumat, 28 Februari 2020

BULLYING DALAM KELUARGA?

🍁🍁🍁
Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang berusaha sangat keras dan punya banyak prestasi namun terlihat minder, selalu merasa kurang dan bodoh, sangat mengejar kesempurnaan sampai menyakiti diri sendiri, bahkan sampai depresi? Pernahkah Anda bertemu orang yang aslinya sudah cantik namun dirinya terus mengatakan bahwa dirinya jelek dan rela mengeluarkan banyak uang untuk perawatan kecantikan yang sebenarnya tidak dibutuhkannya (misalnya, operasi plastik)? Atau pernahkah bertemu orang dengan banyak bakat namun tidak mau mengembangkan bakatnya karena merasa apa yang dikerjakannya tidak bagus dan sia-sia? Ini sesuatu yang janggal, bukan?

Ada banyak kemungkinan penyebab persoalan tersebut. Salah satunya adalah bullying yang terjadi di rumah. Ya, di rumah. Siapa yang melakukan? Bisa orang tuanya, kakaknya, adiknya, atau anggota keluarga lainnya.

Keluarga (terutama orang tua) adalah tempat pertama seseorang menumbuhkan konsep dirinya. Penilaian orang tua terhadap dirinya sejak kecil akan direkam dan berkembang menjadi penilaian terhadap dirinya sendiri. Jika anak tidak pernah mendapat penilaian baik atau bahkan terbiasa mendapat label buruk dari orang tuanya, maka ia akan yakin bahwa tidak ada hal baik dalam dirinya. Dan konsep diri ini dapat terus bertahan bahkan bertambah buruk hingga ia dewasa. Meskipun orang-orang di sekitarnya (misalnya teman, rekan, fans dll) memberinya banyak pujian, ia akan merasa pujian itu suatu kebohongan atau karena kebetulan semata.

Anak yang mengalami bullying di rumah berpotensi besar untuk mengalami bullying di luar rumah. Karena salah satu ciri orang yang rentan menjadi target bullying adalah orang yang tampak minder. Apalagi jika orang tersebut memiliki kelebihan menonjol dalam dirinya namun tidak percaya diri dan selalu merasa dirinya kurang.
🍁🍁🍁

Semoga bermanfaat.
Devira Sari, Psikolog
2020

Rabu, 26 Februari 2020

MENGHADAPI BULLYING


MENGHADAPI BULLYING
Oleh : Devira Sari, Psikolog

“When someone is cruel or act like a bully, you don’t stoop to their level. No, our motto is : when they go low, we go high.” (Michelle Obama)

Tidak ada orang normal yang suka dibully. Namun bullying kadang tidak dapat diprediksi datangnya. Orang yang dibully pun sering kali tidak mengetahui mengapa dijadikan target. Jelas saja, bullying terjadi karena ada masalah pada pembully dan bukan pada yang dibully. Jadi wajar lah jika orang yang dibully merasa kaget, kesal bahkan marah. Seperti tulisan saya di postingan sebelumnya, membalas perbuatan pembully atau melampiaskan kekesalan pada orang lain tidak akan membuat Anda menjadi lebih baik. Malah hanya akan memperburuk keadaan Anda.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan saat berhadapan dengan pembully? Berikut saya berikan beberapa poin yang dapat dilakukan jika mengalami bullying:

1. Jangan bereaksi
Reaksi adalah hal yang dicari oleh para pembully. Reaksi yang Anda tunjukkan seperti takut, marah, menangis, atau membalas hanya akan membuat pembully senang, karena memang itu tujuannya. Reaksi tersebut akan menjadi penguatan bagi perilaku mereka sehingga suatu saat mereka akan mengulanginya lagi. Seorang anak yang cengeng adalah salah satu sasaran empuk pembully. Setiap anak tersebut menangis, pembully akan merasakan kesenangan. Maka ketika ia merasa bosan atau ingin melampiaskan kekesalan, ia akan mengganggu anak tersebut. Begitu si anak menangis, muncul rasa superior dalam diri si pembully.
Tegakkan badan, tatap langsung ke matanya, dan bersikap seperti biasa, kalau perlu berikan senyuman, atau berjalan saja melewatinya seolah ia tidak ada. Lanjutkan kegiatan yang sedang Anda lakukan dengan santai tanpa menghiraukannya. Jangan tunjukkan ekspresi dan sikap tubuh inferior. Postur yang kuat dapat menyadarkan pembully bahwa ia salah sasaran. Karena pada dasarnya mereka memiliki kemampuan dan self esteem yang rendah, pembully hanya akan membully orang yang punya celah untuk dibully.

2. Tunjukkan Compassion (kasih sayang)
Kebanyakan pembully membully untuk meningkatkan harga dirinya dan mendapatkan pengakuan. Mereka merasa insecure dan putus asa karena merasa tidak diterima dan dicintai, sehingga tidak suka melihat orang lain yang diterima dan dicintai. Biasanya pembully itu belum sembuh dari luka hati yang sangat mengganggu kehidupan mereka, maka mereka melampiaskan luka itu pada orang lain. Sering kali pula mereka tidak pernah mengetahui bagaimana diperlakukan dan memperlakukan dengan baik. Boleh jadi di keluarga atau lingkungan tempat mereka tinggal memang suka berlaku kasar, merugikan, dan merendahkan orang lain. Oleh sebab itu mereka begitu haus akan penerimaan dan pengakuan. Dengan kata lain, pembully itu menderita di dalam dirinya. Maka berikanlah orang-orang ini kasih sayang. Biarkan mereka mendengarkan pujian dan persetujuan. Mereka sangat membutuhkannya.
(Baca juga https://devirarein.blogspot.com/2017/11/tentang-bullying.html)

3. Tingkatkan kepercayaan diri
Pembully paling senang mengganggu orang yang kurang percaya diri dan terlihat ragu-ragu. Sebaliknya kecil kemungkinan orang yang percaya diri dan berani untuk menjadi target bullying. Maka coba tingkatkan kepercayaan diri dengan mengembangkan bakat dan bergabunglah dengan orang-orang yang juga percaya diri.
Selain itu, salah satu target pembully adalah orang yang memiliki kelebihan yang menonjol sehingga membuatnya merasa terancam. Ada sesuatu dalam diri si target yang tidak dimiliki pembully dan membuatnya merasa minder atau tersaingi. Bisa jadi itu bakat, kemenarikan fisik, prestasi, sanjungan publik, keberuntungan, dan lain sebagainya. Tetaplah bersinar dengan kelebihan yang ada dan kembangkan potensi diri hingga maksimal. Terkadang ketika ada orang-orang yang berusaha menjatuhkan Anda, itu artinya Anda berada di atas mereka.

4. Menghindar
Jika Anda berpikir menghindar akan menunjukkan bahwa Anda lemah, maka itu salah. Pada kondisi seperti ini, menghindar bukan lah suatu kelemahan melainkan pilihan bijak. Terutama jika cara-cara di atas tidak berhasil. Menghindar untuk kebaikan, keamanan, tetap bisa fokus pada tujuan Anda, dan terbebas dari gangguan. Dan kalau ternyata masih sangat mengganggu dan pembully benar-benar tidak dapat dihindari lagi, maka coba pindah lah ke tempat lain.

5. Cari teman/kelompok
Selain yang lebih lemah, target yang dipilih pembully untuk dibully adalah yang suka menyendiri, sedang berjalan sendirian atau yang tinggal seorang diri. Pembully tidak akan berani mengganggu orang yang berkelompok, di kelilingi teman-teman, atau yang berada dalam perlindungan. Maka carilah teman dan masuklah dalam suatu komunitas yang Anda sukai. Hindari atau kurangi beraktivitas seorang diri, terutama jika masih ada kemungkinan menjadi target bullying.

6. Cari bantuan otoritas atau pihak berwajib
Jika pembully dirasa sangat meresahkan dan mengganggu aspek kehidupan anda, segera laporkan ke pihak yang memiliki otoritas setempat (guru/atasan/RT) atau pihak berwajib. Bagaimanapun keamanan dan keselamatan diri Anda perlu diutamakan.

7. Cari bantuan profesional
Apabila Anda telah jika sudah merasakan adanya gejala-gelaja tidak sehat akibat bullying, segera cari bantuan profesional seperti psikolog atau konselor. Hal ini penting agar dampak ini tidak mengganggu aktivitas dan kehidupan sehari-hari Anda. Dan juga guna mencegah dampak psikologis jangka panjang dari bullying (baca postingan sebelumnya tentang dampak jangka panjang bullying)

8. Peran orang tua/orang terdekat
Ini terutama untuk korban anak dan remaja. Bekali anak-anak dengan kepercayaan diri, rasa aman dan keterampilan sosial. Banyak korban bullying yang memiliki masalah keluarga dan tidak dekat dengan orang tuanya, sehingga mereka lebih rapuh dan lebih mudah terombang-ambing. Ketika bullying terjadi mereka juga enggan memberitahukan orang tua, guru ataupun orang lain karena takut tidak dipercaya, dimarahi, atau malah dibully juga oleh keluarganya. Akibatnya mereka semakin ketakutan dan menjadi sasaran empuk bagi para pembully. Maka bagi orang tua dan orang terdekat, jalin komunikasi yang sehat dan secara rutin tanyakan bagaimana teman-teman mereka memperlakukan mereka. Selain itu, jadilah model ketegasan di rumah, dan pastikan anak-anak tahu bagaimana sepantasnya mereka diperlakukan.

9. Memaafkan
Jangan pernah membalas pembully, karena hal itu hanya akan memburuk keadaan. Cara plaing tepat untuk menyembuhkan luka hati adalah dengan memaafkan. Melepaskan segala emosi negatif dan ingatan buruk tentang kejadian bullying dan pembully. Memaafkan itu pilihan, maka tidak perlu menunggu pelaku meminta maaf ataupun menganti rugi.
Beberapa orang memang tidak pernah akan mengubah perilaku mereka dan mungkin melakukan hal yang sama lagi terhadap Anda, di masa depan. Memaafkan juga bukan berarti Anda menyetujui perbuatan pembully. Namun tetaplah memaafkan. Memaafkanlah untuk kesehatan fisik dan psikis Anda sendiri.


Semoga bermanfaat.
Jakarta, 26 Februari 2020


Sumber : dari berbagai bacaan.


Selasa, 25 Februari 2020

KALAU DIBULLY, JANGAN JADI PEMBULLY

KALAU DIBULLY, JANGAN JADI PEMBULLY
Oleh : Devira Sari, psikolog

“if someone treats you badly, just remember that there is something wrong with them, not you. Normal people don’t go around destroyIng human being.” (anonim)
Pasti Anda sudah tidak asing dengan istilah bullying. Bullying merupakan upaya yang disengaja dan berulang-ulang untuk menyebabkan kerugian bagi orang lain yang memiliki kekuatan lebih rendah. Bullying dapat terjadi pada anak, remaja, dan dewasa, baik di sekolah, di tempat kerja, di media sosial (cyberbullying) bahkan di rumah. Penyebab utama bullying adalah karena ketidakseimbangan kekuasaan (imbalance of power), dimana si pembully memiliki hasrat untuk berkuasa dan ingin menguasai orang yang dipilihnya untuk dibully. Dengan kata lain, ini persoalan menang – kalah. Pembully merupakan orang yang memang memiliki otoritas atau posisi lebih tinggi, atau bisa juga orang yang “merasa” dirinya lebih tinggi dan membutuhkan pengakuan. Biasanya orang-orang yang dipilih untuk dibully memiliki ciri tertentu yang harus dikalahkan supaya (tetap) berada di bawah.
Ciri-ciri orang yang rentan menjadi target bullying antara lain :
1. posisinya berada di bawah si pembully, seperti junior di sekolah, subordinat (bawahan), adik, istri.
2. memiliki kekurangan atau masalah fisik/psikis, seperti kurang percaya diri, berasal dari keluarga bermasalah, punya cacat fisik, punya gangguan psikologis, tubuh yang kecil dan ringkih, cengeng.
3. orang yang lebih suka menyendiri, sedang berjalan seorang diri, tinggal sendirian (jauh dari keluarga).
4. memiliki kelebihan yang begitu menonjol sehingga dianggap pembully sebagai ancaman.
Selain tiga poin di atas, orang yang mudah tersinggung juga sering melaporkan dirinya mengalami bullying, walaupun tidak ada bukti ataupun saksi yang menyatakan bullying telah terjadi.
Dampak dari bullying bermacam-macam seperti peningkatan risiko depresi dan kecemasan, dan risiko lebih tinggi untuk memiliki pikiran bunuh diri dan melakukan tindakan bunuh diri. Ada sebuah penelitian yang menarik dari JAMA Psychiatry (baca postingan sebelumnya) yang menunjukkan efek jangka panjang dari bullying. Penelitian ini dilakukan selama 17 tahun terhadap tiga kelompok anak antara lain : kelompok anak yang dibully, kelompok anak yang membully, dan kelompok anak yang memainkan kedua peran (korban bully yang menjadi pembully). Studi ini benar-benar ditindaklanjuti sampai mereka tumbuh dewasa, dan dilihat apa yang sebenarnya terjadi dari waktu ke waktu.
Hasil penelitian membuktikan bahwa efek dari bullying adalah langsung, pleiotropik, dan bertahan lama, dengan efek terburuk dialami mereka yang menjalankan kedua peran (korban yang menjadi pembully). Jelas ya...efek terburuk dialami oleh korban yang juga membully.
Bahkan setelah mengendalikan variabel-variabel tertentu seperti gangguan kejiwaan masa kanak-kanak, pelecehan, status sosial ekonomi, kesulitan dan ketidakstabilan keluarga, serta beberapa hal ini, tetap dampak ini masih ada. Korban bully masih memiliki risiko untuk gangguan kecemasan. Mereka yang menjalankan kedua peran (korban sekaligus pembully) memiliki risiko lebih besar mengalami depresi dan gangguan panik.
Ini menarik sekali. Saya mencoba menganalisis apa yang terjadi pada korban bully yang juga pembully ini.
1. Mereka tidak memiliki mental natural seorang pembully.
Pembully tulen adalah orang yang memiliki kecenderungan gangguan kepribadian antisosial (pada orang dewasa) atau conduct disorder (pada anak). Gangguan ini dicirikan dengan kurangnya rasa bersalah/penyesalan, kurang empati, dan ekspresi emosi yang dangkal. Pembully tulen tidak memiliki rasa takut saat melakukan bullying dan tidak takut akan resiko yang akan terjadi (korban tersakiti, korban membalas, ditangkap, masuk penjara). Sementara pembully yang dulunya pernah dibully tidak memilki ciri ini. Mungkin mereka dapat bersikap tidak peduli dan bangga karena telah menunjukkan keberanian. Namun hati nuraninya akan terus menerus memberikan peringatan bahwa ia telah melakukan hal yang salah sehingga membuat hidup mereka tidak tenang. Hati nurani atau dalam psikologi disebut conscience merupakan bagian dari superego sebagai fungsi kontrol dalam struktur kepribadian manusia, yang membuat seseorang sadar akan baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas. Nah, pembully tulen tidak memiliki hal ini.
2. Motif utama melakukan bullying adalah membalas sakit hati.
Orang yang dibully akan merasa sakit hati karena telah direndahkan, dirugikan dan dibuat frustrasi. Hal ini mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama, yaitu dengan merugikan dan merendahkan orang lain. Saat tidak mampu membalas langsung ke orang yang membully, pilihan jatuh kepada orang yang lebih memungkinkan untuk dibully walaupun tidak ada bersalah apa-apa. Sebenarnya tujuannya adalah untuk melampiaskan emosi negatif yang mereka rasakan, supaya lega dan impas. Namun nyatanya keadaan mereka menjadi lebih buruk dari sebelumnya. banyak penelitian yang menunjukkan dampak fisik dan psikis dari memendam rasa marah dan sakit hati. Begitu pula dengan tindakan membalas dendam. Balas dendam bukanlah solusi masalah, dan malah akan menambah masalah.
Memang, saat berhasil membalas dendam maka akan timbul perasaan puas dan menang. Ini menjadi candu baru dimana ia berpikir bahwa cara terbaik untuk merasa puas adalah dengan membalas dendam dan berbuat kerusakan pada orang lain sama seperti yang pernah ia alami dulu. Setiap ada hal yang tidak mengenakan di hati dan tidak dapat diterimanya, maka ia akan murka. Kemudian, ia akan terobsesi dengan pembalasan dendam, hatinya dipenuhi ketakutan akan penyerangan dan kekalahan. Ia juga takut akan ada orang di luar sana yang sakit hati padanya dan hendak membalas dendam sebagaimana ia membalas dendam sebelumnya. Begitu seterusnya sampai seperti hidup dalam lingkaran setan, dan jauh dari ketenangan.
3. Faktor belajar yang salah.
Seorang guru pernah berkonsultasi pada saya tentang anak didik laki-lakinya yang suka membully temannya di sekolah, mulai dari merebut mainan/alat tulis, mengejek, menarik kursi teman, menarik rambut teman perempuan, hingga bertengkar fisik. Saat sesi konseling, murid tersebut bercerita bahwa di rumahnya hal itu biasa terjadi. Ia juga sering menjadi korban bully dari ayah atau abangnya supaya mau disuruh dan mengerjakan apa yang mereka inginkan. Di rumahnya juga biasa memanggil anggota keluarga dengan nama-nama ejekan menyembunyikan barang, dan lainnya. Katanya itu semacam guyonan di keluarga saja tapi ia sering menangis karenanya. Sementara anggota keluarga yang lain tertawa melihat reaksinya. Bahkan ayahnya mengajarkan jika ingin mendapatkan sesuatu adalah dengan cara semacam membully itu. “Jangan mau kalah”, atau “tunjukkan kalau kamu lebih kuat, mereka semua lemah”, kata ayahnya. Dan ia menerapkan perilaku membully itu kepada setiap orang, di setiap kesempatan. Sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja ia lebih sering kalah dalam perbullyan dan berakhir sama dengan yang terjadi di rumahnya, ditertawakan teman-teman yang lain dan dibawa ke BK. Sebenarnya ia tidak suka perlakuan seperti itu tapi tidak pernah tahu bagaimana perilaku yang tepat dalam interaksi sosial. Sukurnya, setelah tamat sekolah dasar, siswa tersebut melanjutkan sekolah di luar kota dan tinggal dengan pamannya. Dengan pola didikan yang berbeda, siswa tersebut belajar untuk berperilaku lebih baik dan lebih fokus belajar di sekolah.
4. Kesepian.
Semua manusia normal baik anak, remaja maupun dewasa membutuhkan teman untuk berbagi, bermain, maupun bekerja sama. Sementara pembully ini cenderung tidak punya teman kecuali teman atas dasar kepentingan semata atau teman sesama pembully yang berpotensi akan membully dirinya juga. Mereka berpikir dengan membully akan mengembalikan esteem mereka yang jatuh setelah dibully. Nyatanya mereka semakin rendah diri dan dikucilkan dari pertemanan. Siapa pula yang mau berteman dengan pembully? Kesepian juga dapat memicu mental illness hingga tindakan bunuh diri.
Jadi, tidak perlu membalas orang yang pernah membully atau menyakiti Anda. Memang sakit dan sedih menjadi korban bully. Namun, coba telusuri riwayat hidup orang yang membully Anda, besar kemungkinan ia adalah mantan korban bully. Dan karena ia memilih untuk menjadi pelaku bullying, maka dipastikan hidupnya jauh lebih menderita dari Anda.

Semoga bermanfaat.
Jakarta, 25 Februari 2020

DAMPAK JANGKA PANJANG BULLYING


DAMPAK JANGKA PANJANG BULLYING
Oleh : Devira Sari, Psikolog

Kemarin seorang guru BK berdiskusi dengan saya mengenai kasus bullying yang terjadi di sekolahnya. Teringat ada keinginan menulis tentang bullying, tapi belum sempat saya lakukan. Saya ada membaca beberapa artikel dan penelitian tentang bullying. Salah satunya adalah sebuah penelitian menarik terkait dampak jangka panjang bullying.

Penelitian ini berlangsung kurang lebih 17 tahun, dengan melibatkan tiga kelompok anak yaitu 
kelompok anak yang hanya menjadi korban bully, kelompok anak yang hanya menjadi pembully, dan kelompok anak yang menjalankan kedua peran (korban yang menjadi pembully). Kemudian dilihat apakah mereka menderita gangguan kesehatan mental seperti gangguan depresi, gangguan kecemasan (seperti kecemasan umum, PTSD, OCD, dan lain-lain), ketergantungan zat, dan gangguan kepribadian antisosial, sesuai panduan DSM-4.

Berikut saya ringkas hasil penelitian tersebut:

1. Anak-anak yang hanya menjadi korban (yang tidak pernah membully orang lain) memiliki risiko lebih besar untuk gangguan depresi, gangguan kecemasan, general anxiety disorder , gangguan panik, dan agorafobia saat dewasa.

2. Anak-anak yang melakukan tindakan bullying kemungkinan mengembangkan conduct disorder. Orang dewasa yang pernah menjadi pembully (dan tidak pernah dibully) tidak memiliki risiko yang sama untuk gangguan kesehatan mental. Risiko mereka adalah gangguan kepribadian antisosial.

3. Resiko paling buruk adalah pada anak-anak yang menjadi korban bully sekaligus pembully. Mereka mengalami semua jenis gangguan depresi dan kecemasan, dan paling sering mengembangkan ide bunuh diri, gangguan depresi, kecemasan dan gangguan panik, dibandingkan dengan kelompok peserta lainnya. Faktanya, sekitar 25% dari peserta ini mengatakan mereka memiliki pikiran untuk bunuh diri saat dewasa muda, dan sekitar 38% memiliki gangguan panik.

4. Setelah mengendalikan variabel-variabel tertentu seperti gangguan kejiwaan masa kanak-kanak, pelecehan, status sosial ekonomi, kesulitan dan ketidakstabilan keluarga, serta beberapa hal ini, tetap dampak ini masih ada. Korban bully masih memiliki risiko lebih besar untuk gangguan kecemasan. Mereka yang menjalankan kedua peran (korban sekaligus pembully) memiliki risiko paling besar untuk mengalami depresi dan gangguan panik. Sementara Pembully tetap hanya memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder).

5. Pria lebih tinggi dalam  risiko melakukan tindakan bunuh diri, sedangkan wanita lebih beresiko mengalami agorafobia (cemas jika berada di tempat umum dan tidak ada yang menolong saat bullying terjadi kembali).

Studi tersebut membuktikan bahwa menjadi korban bullying faktor risiko untuk masalah emosional yang serius hingga ke masa dewasa. Sementara pembully tidak mengalami gangguan emosional dan lebih ke gangguan kepribadian, kecuali mereka dulunya pernah korban bullying (membully karena pernah dibully). Gangguan psikologis ini tidak hilang begitu saja karena tumbuh dewasa dan tidak mengalami bullying lagi. Dampak ini akan menetap bersama mereka. Jika kita dapat mencegahnya sekarang, kita dapat mencegah sejumlah besar masalah di masa depan.

Semoga bermanfaat.
Jakarta, 25 Februari 2020

Referensi ;
William E. Copeland, PhDDieter Wolke, PhDAdrian Angold, MRCPsych; et al. 2013. Adult Psychiatric Outcomes of Bullying and Being Bullied by Peers in Childhood and Adolescence. JAMA Psychiatry. 2013;70(4):419-426. doi:10.1001/jamapsychiatry.2013.504. https://jamanetwork.com/journals/jamapsychiatry/fullarticle/1654916


Sabtu, 22 Februari 2020

COMPASSION FATIGUE DAN EMPATHIC DISTRESS


COMPASSION FATIGUE DAN EMPATHIC DISTRESS
Oleh : Devira Sari, psikolog


Helping until it hurts?” - Kyle D. Killian


Compassion fatigue (CF) dan empathic distress (ED) merupakan istilah yang sering digunakan bergantian, merujuk pada masalah psikologis yang dialami para helping professional. Yang dimaksud dengan helping professional adalah orang yang bekerja dalam kapasitas menolong orang lain, antara lain psikolog klinis, konselor, dokter, perawat, paramedis, pekerja sosial, caregiver, dan profesi lain yang berhubungan dengan penanganan trauma dan meringankan penderitaan orang lain.

Saya sendiri baru mengetahui istilah compassion fatigue sekitar tahun 2015 dari dosen saya yang mengikuti sebuah seminar kesehatan mental. Kemudian, tahun 2016 saya dan teman-teman melakukan penelitian psikologi medis di sebuah rumah sakit di kota Cimahi, Jawa Barat. Teringat dengan konstruk yang relatif baru saya ketahui, saya berdiskusi dengan teman-teman saya dan kami sepakat menggunakan CF sebagai variabel penelitian. Dari situ saya banyak membaca dan mendapatkan pemahaman tentang istilah tersebut.

COMPASSION FATIGUE
Compassion fatigue pertama kali diperkenalkan oleh Charles Figley, seorang profesor di bidang psikologi dari Universitas Tulane, pada tahun 1990an. Compassion artinya perasaan yang mendalam dan kemampuan merasakan penderitaan orang lain sehingga muncul keinginan untuk membantu meringankan penderitaan tersebut. Sedangkan fatigue berarti kelelahan setelah berusaha keras atau karena melakukan sesuatu secara rutin (terus menerus). Figley mendefinisikan compassion fatigue sebagai konsekuensi perilaku dan emosi yang secara alami dihasilkan dari mengetahui pengalaman traumatis orang lain, dan stres yang dihasilkan dari membantu atau keinginan untuk membantu orang dengan trauma dan mengurangi penderitaan tersebut. CF adalah resiko profesi dalam merawat orang yang mengalami penderitaan emosional dan merupakan dampak langsung dari paparan trauma yang dialami klien, kemudian diperparah oleh kurangnya dukungan di tempat kerja dan di rumah.

GEJALA COMPASSION FATIGUE
CF mengacu pada kelelahan akibat menjalankan profesi membantu meringankan penderitaan orang lain secara terus menerus. Hampir sama seperti profesi lainnya, yang juga dapat mengalami kelelahan dikarenakan tugas yang mereka kerjakan terus menerus. Misalnya atlit akan kelelahan karena latihan fisik terus menerus, atau konseptor akan kelelahan karena memikirkan konsep terus menerus. Akan tetapi, penelitian oleh Figley menemukan bukti bahwa para helping professional mengalami sesuatu yang lebih kompleks daripada kelelahan bekerja seperti pada profesi lain. Yang dirasakan para helping professional lebih dari sekedar BURNOUT. Mereka mengalami kelelahan emosional dan fisik sampai kehilangan kemampuan mereka untuk terhubung dengan perasaan kasih sayang dengan orang lain (klien, kolega, dan orang yang dicintai). Gejala yang sering terjadi antara lain mimpi buruk, tidak bisa tidur, sulit bangun dari tempat tidur, kesulitan melupakan cerita traumatis yang diceritakan oleh klien mereka, sakit kepala, sakit di bagian dada, merasa kering dan kosong, merasa seperti tertular rasa sakit dari klien, penurunan kualitas kerja saat merawat pasien/klien, peningkatan kesalahan klinis, menurunnya kepekaan terhadap lingkungan sosial, mudah marah karena hal kecil, gangguan kecemasan dan depresi. Jika dibiarkan mereka pun akan membenci profesinya, membenci orang terdekat, membenci seluruh manusia, bahkan membenci diri sendiri sehingga dapat menyebabkan peningkatan tingkat pengajuan cuti dan pengunduran diri, serta stres dalam rumah tangga, perceraian, dan isolasi sosial. Gelaja ini disebut juga dengan secondary traumatic stress : stres traumatik yang “ditularkan” dari orang lain dan bukan dari pengalaman sendiri. Compassion fatigue menyerang alasan utama yang membuat penderitanya mencintai pekerjaan mereka, yaitu empati dan keinginan membantu orang lain.

EMPATHIC DISTRESS
Sekitar tahun 2018 saya baru mengetahui istilah ini dan merasa penasaran. Setelah membaca beberapa literatur, saya menemukan bahwa empathic distress makna dan gejalanya kurang lebih sama dengan compassion fatigue. Namun dari yang saya baca, Tania Singer, seorang peneliti dari laboratorium ilmu saraf sosial di Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Jerman kurang setuju dengan penggunaan istilah compassion fatigue. Menurutnya, yang menyebabkan gangguan dan kelelahan pada para helping professional bukan compassion melainkan empati. Menurut Singer, compassion tidak akan membuat kita kelelahan (fatigue). Empati yang berlebihan lah yang membuat kita kelelahan bahkan distres.

Empati adalah kemampuan merasakan perasaan yang sama dengan orang lain. Sedangkan distres adalah bentuk stres yang mengganggu kehidupan orang yang mengalaminya. Singer dan Klimecki (2011) mendefinisikan empathic distress sebagai “a strong aversive and self-oriented response to the suffering of others, accompanied by the desire to withdraw from a situation in order to protect oneself from excessive negative feelings”. Jadi, ED ini lebih bersifat self-oriented sehingga rasa tidak nyaman berasal dari dalam diri, dan memunculkan keinginan untuk menarik diri dari situasi tersebut untuk melindungi dari perasaan negatif yang berlebihan. Sementara compassion, menurut Singer, lebih bersifat other-oriented sehingga semestinya dengan menolong orang lain akan otomatis mengurangi perasaan negatif, meningkatkan perasaan positif dan tidak mungkin membuat kelelahan (fatigue).

Menurut saya, kedua hanya persoalan istilah dan penggunaannya saja. CF itu lebih tepat digunakan dalam konteks profesional. CF adalah kombinasi dari burnout dan secondary traumatic stress. Dimana memang tugas utama mereka adalah memberikan compassion dan terus menerus terpapar luka emosional orang lain, terlepas dari apakah mereka melakukan pekerjaan tersebut karena motivasi internal (passion) atau bukan. Sementara ED lebih bersifat natural dan internal sehingga tidak hanya dapat dialami oleh para helping professional. Orang awam juga dapat mengalami ED.

Beberapa orang yang saya kenal mengalami ED tidak bekerja di bidang profesi yang melibatkan compassion, bahkan tidak memiliki profesi sama sekali. Namun, mereka memang dianugerahi Tuhan empati yang begitu besar, sebagai bawaan lahir dan/atau karena sudah mengalami pengalaman pahit dalam hidupnya. Jadi mereka tidak punya tugas/tanggung jawab untuk memberikan apapun pada orang lain. Saking besarnya empati yang mereka miliki sampai tak terkendali, sehingga menyebabkan distress dan mengganggu kehidupan orang tersebut. Tubuh mereka seperti spons yang mampu menyerap semua emosi yang ada di sekitar mereka dan merasakannya seperti emosi mereka sendiri. Mereka bahkan sering kali kesulitan membedakan mana emosi dari dalam diri mereka dan mana emosi yang datang dari luar diri mereka. Hal ini secara alamiah mendorong mereka untuk meringankan penderitaan orang lain sebagai satu-satunya cara untuk meringankan penderitaan yang mereka rasakan, sebagai suatu tanggung jawab. Hanya saja sering kali mereka mengalami kewalahan dan merasa bersalah karena tidak mampu melakukan apa-apa untuk membuat perubahan. Distres ini jika tidak terselesaikan dapat memunculkan ide bunuh diri bahkan sampai melakukan tindakan melukai/mencelakai diri sendiri. Biasanya orang-orang ini lah yang termotivasi untuk menjadi helping professional, walaupun pada akhirnya belum tentu berprofesi sebagai helping professional. Malah ada pula yang menolak menjadi helping professional dan menghindari lingkungan yang penuh penderitaan supaya tidak perlu merasakan empathic distress.

PENYEBAB DAN PENCEGAHAN CF/ED
Penting untuk menyadari penyebab dan gejala terjadinya dari CF maupun ED, khususnya untuk para helping professional. Selain faktor kepuasan pekerjaan (pendapatan yang tidak memadai, organisasi yang tidak berfungsi dengan baik, masalah dengan rekan dan atasan), orang yang paling mungkin terkena CF/ED ini adalah yang memiliki trauma masa lalu yang belum selesai dan yang self care- nya buruk.
Orang yang bekerja sebagai helping professional sering awalnya tertarik pada bidang ini karena alasan personal seperti “saya tahu rasanya hidup dalam kesusahan”, “tidak tahan melihat penderitaan orang lain”, “ingin membantu' dan “untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik”. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar 60% dari individu yang memilih untuk menjadi helping professional memiliki sejarah trauma atau pengalaman kehilangan atau menyaksikan orang dekat yang berjuang menghadapi isu kesehatan mental, kecanduan atau peristiwa traumatis. Ini berarti orang-orang ini lebih rentan untuk mengembangkan masalah kesehatan mental dan dapat terpicu oleh cerita traumatis dari klien mereka, terutama jika mereka sendiri belum sembuh.

Para helping professional harus melakukan asesmen terhadap diri sendiri untuk benar-benar mengenali diri, seperti pengalaman masa lalu, luka hati yang belum selesai, hal-hal yang tidak disukai, dan hal-hal yang dapat membuat bahagia. Untuk mencegah CF/ED juga butuh bantuan dan support orang terdekat, seperti pasangan, keluarga, rekan kerja. Banyak helping professional merasa kesulitan menemukan orang yang memahami dan mendapatkan support. Mereka sering dianggap terlalu memikirkan orang lain, atau malah dimarahi dan dilarang karena melakukan perbuatan yang tidak menguntungkan diri sendiri. Padahal hal tersebut terjadi secara natural. Justru kalau tidak peduli maka rasanya sama dengan menyakiti diri sendiri. Kalau boleh memilih mungkin akan lebih tenang dengan tidak peduli dan memikirkan diri sendiri saja. Hal-hal seperti ini yang mesti dipahami dan diterima oleh orang-orang di sekeliling para helping professional. Terkadang seseorang tidak menyadari dirinya sedang mengalami CF/ED, maka diharapkan orang terdekatnya untuk lebih peka dengan gejala yang timbul. Caranya dengan ikut membantu penderita CF/ED ini menyelesaikan tugasnya dan menyingkirkan hal-hal yang dianggap mengganggu. Biasanya penderita CF/ED ini tidak akan berhenti sebelum tugasnya selesai. Memarahi, melarang apalagi maksanya berhenti hanya akan memperburuk keadaannya, bahkan akan membuatnya membenci Anda.

Hal paling penting untuk mencegah atau mengobati CF/ED adalah dengan mempraktekkan self care (self love). Seseorang tidak mungkin menuangkan air dari teko yang kosong. Tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Maka penuhi dulu diri sendiri dengan compassion sebelum memberikan compassion itu pada orang lain. Kita akan sulit membahagiakan orang lain jika diri sendiri belum bahagia. Luangkan waktu untuk me-time, lakukan hobi, kembangkan bakat, meditasi, traveling, menonton stand up commedy, berkumpul dengan teman-teman dan bersenang-senang, atau kegiatan lain yang disukai.


Semoga bermanfaat
Jakarta, 22.02.20202


*******


Referensi :
Figley, Charles R. 2012. Encyclopedia of trauma. SAGE Publications, Inc. United States of America

Klimecki & Singer. 2011. Empathic Distress Fatigue Rather Than Compassion Fatigue? Integrating Findings from Empathy Research in Psychology and Social Neuroscience. https://www.researchgate.net/publication/288980407_Empathic_Distress_Fatigue_Rather_Than_Compassion_Fatigue_Integrating_Findings_from_Empathy_Research_in_Psychology_and_Social_Neuroscience/link/57b1a01108aeb2cf17c56026/download

Radey, Melissa; Figley, Charles R. 2007. The Social Psychology of Compassion. Clinical Social Work Journal. 35:207–214 DOI 10.1007/s10615-007-0087-3

Senin, 03 Februari 2020

EMPATI DAN PROFESI PSIKOLOG


EMPATI DAN PROFESI PSIKOLOG
Oleh : Devira Sari, Psikolog
πŸ¦‹
Suatu siang selepas kuliah Filsafat tahun 2015 :
Saya : Kang jadi pembimbing saya ya...
Beliau : Anda semester berapa?
Saya : Semester satu, Kang
Beliau : Pembagian pembimbing semester berapa?
Saya : Semester tiga
Beliau : Saya punya tugas untuk Anda
Saya : Apa tugasnya?
Beliau : Empati. Saya mau lihat sejauh mana anda mampu menguasainya....saat kita mulai bimbingan nanti.
πŸ¦‹
Sepenggal kenangan bersama Prof. Sutardjo Wiramihardja, psikolog klinis di Universitas Padjadjaran. Saat itu kami mendiskusikan draft tesis yang telah saya persiapkan untuk beliau review. Saya masih ingat bagaimana gaya berpakaiannya yang santai, dengan flatcap, kacamata, dan tongkat untuk membantunya berjalan. Selain karena faktor usia, beliau memang sedang sakit keras. Namun sepertinya jiwanya menolak usia dan penyakit menjadi penghambat dalam hidupnya. Beliau tetap mengajar dan beraktivitas seperti biasanya. Beberapa bulan kemudian, saya ingat saya sedang berada di Malang untuk tugas praktek kerja. Qadarullah. Saya mendapatkan berita bahwa beliau telah meninggal dunia di Bandung.

Empati berasal dari Bahasa Yunani ΡμπάθΡια yang berarti "ketertarikan fisik" didefinisikan sebagai respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain. Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain (Baron & Byrne, 2005).

Mungkin memang ada orang-orang yang terlahir dengan empati tinggi dalam dirinya. Orang-orang yang berbakat psychic. Namun empati juga bisa dipelajari. Bagaimana mempelajarinya? Kalau merujuk dari guyonan anak-anak kampus psikologi, “Mesti depresi dulu baru mengerti perasaan orang depresi” atau at least hiduplah bersama orang depresi. Hehe...Ya gak seekstrim itu juga ya (walaupun biasanya hasilnya lebih mendalam). Memang benar tidak cukup memahami manusia hanya dengan membaca buku, apalagi sekedar cocoklogi dengan kriteria atau indikator tertentu. Namun sekarang sudah banyak media pembelajaran seperti youtube, facebook, kelas dan komunitas kesehatan mental online yang juga melayani sharing dan diskusi yang membantu kita belajar.

Menurut Prof. Sutardjo, sebenar-benarnya seorang psikolog klinis tidak cukup hanya dengan kecerdasan kognisi (IQ) yang tinggi saja, namun harus dibarengi dengan kecerdasan emosi (EQ) yang tinggi juga. Setelah saya pelajari, ternyata empati adalah manifestasinya. Empati adalah ketika seseorang telah berhasil menguasai dan menyeimbangkan IQ dan EQ nya. Bukan sekedar mengerti melainkan memahami. Bukan sekedar mengetahui melainkan merasakan.

Carl Rogers (1959), seorang psikolog aliran humanistik memperkenalkan pendekatan client centered. Dalam pendekatan ini, ada tiga karakter utama yang harus dimiliki seorang psikolog/terapis : Unconditional positive regard (menerima orang lain sebagaimana adanya), genuiness (tidak berpura-pura) dan accurate empathic understanding.
Accurate empathic understanding, tidak hanya sekedar empati saja, melainkan memahami kerangka referensi internal orang lain secara akurat, beserta komponen dan makna emosional yang berkaitan dengannya seolah-olah orang lain itu adalah dirinya sendiri, tanpa kehilangan kondisi “seolah-olah” itu. Artinya, mampu merasakan luka dan penderitaan yang akurat sama dengan yang dirasakan orang lain tanpa kehilangan kontrol terhadap diri sendiri. Mampu masuk secara total ke dalam dunia orang lain tanpa kehilangan jati dirinya sendiri. Mampu menyelam ke dalam hati terdalam orang lain tanpa ikut hanyut di dalamnya.

Accurate empathic understanding, bersamaan dengan dua karakter lainnya adalah karakter yang membedakan profesi psikolog dengan profesi lainnya. Membedakan orang yang sekedar mempelajari ilmu psikologi dan orang yang mendalami ilmu psikologi. Lebih spesifik lagi, yang membedakan majoring klinis majoring lainnya. Itu makanya sebenar-benarnya psikolog klinis adalah orang yang loveable dan tidak mudah marah / tersinggung. Karena obatnya marah/benci/dendam adalah empati. Jadi sebelum jatuh marah sudah lebih dahulu paham kondisi orang yang yang menyinggungnya. Tidak mudah marah bukan berarti tidak bisa atau tidak pernah marah ya. Psikolog juga manusia biasa, pasti punya self protection. Justru kalau tidak bisa/pernah malah jadi tidak sehat psikolognya. Hanya saja dengan kecerdasan emosional yang baik maka pengendalian dirinya juga akan baik.

Empati, tugas yang diberikan pada saya saat semester satu untuk dinilai saat semester tiga. Nyatanya jangankan semester tiga, bahkan sampai sekarang saya masih jauh dari menguasi ilmu empati ini. Masih butuh banyak belajar dan butuh sekolah lagi.

Laa taghdob, wa lakal jannah – Jangan marah, bagimu surga (HR. Thabrani)
InsyaAllah para psikolog diganjar dengan surga. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Semoga bermanfaat.
Jakarta, 03 Februari 2020

πŸ¦‹πŸ¦‹πŸ¦‹

Referensi :
Baron & Byrne. (2004). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga,
Rogers, C. (1959). A Theory of Therapy, Personality and Interpersonal Relationships as Developed in the Client-centered Framework. In (ed.) S. Koch,Psychology: A Study of a Science. Vol. 3: Formulations of the Person and the Social Context. New York: McGraw Hill.