Senin, 28 Oktober 2019

EDUKASI TERAPI FORGIVENESS



Konon katanya, waktu dapat menyembuhkan segala luka hati. Saya sempat menjadi orang yang percaya akan kalimat ini.

Namun ternyata hal ini tidak sepenuhnya benar. Coba saja Anda berkunjung ke panti jompo, dengarkan cerita para lansia di sana. Dan Anda pun akan takjub bahwa ada lansia yang luka hatinya masih menganga, padahal kejadiannya sudah lewat puluhan tahun. Dari konten dan ekspresinya saat bercerita, Anda akan dapat merasakan kemarahan dan kebenciannya.

Luka hati tidak sembuh dengan sendirinya. Butuh penanganan psikologis agar dapat benar-benar sembuh.

Sekitar satu dekade lalu, saya melakukan penelitian terhadap orang dewasa yang mengalami kekerasan di masa anak. Menarik sekali, ternyata memang luka hati dan dendam bisa bertahan, terpendam dalam diri hingga bertahun-tahun lamanya. Semakin lama malah semakin dalam perasaan sakitnya, dan semakin banyak modifikasi ingatan akan kejadian di masa lalunya.

Alhamdulillah penelitian tersebut mendapatkan predikat terbaik dan ringkasannya telah dibukukan dalam antologi karya ilmiah.

Setelahnya, saya bertemu orang-orang baru, baik klien maupun bukan klien. Saya menemukan bahwa memang banyak orang yang terobsesi dengan kemarahan, kebencian dan dendam. Mereka hidup di masa lalu yang menyakitkan dan enggan move dari sana. Banyak juga yang menjadikan dendam sebagai motivasi untuk sukses, yang pada akhirnya malah menumbuhkan dendam-dendam baru.

Ada pula kasus hambatan komunikasi interpersonal pada orang terdekat, seperti pada pasangan, orang tua, anak, sahabat, rekan, dll. Ternyata hambatan tersebut akarnya adalah kemarahan yang tidak disampaikan atau belum selesai. Pada akhirnya juga menghambat semua aspek kehidupan berelasi orang tersebut.

Beberapa waktu lalu saya praktek kerja di Rumah Sakit dan membuat penelitian terhadap pasien penyakit kronis. Ternyata sakit psikis memang punya hubungan timbal balik dengan sakit fisik. Pasien-pasien yang lebih lama sembuh memiliki gangguan psikologis yang sama seperti cemas, stres, psikosomatis. Setelah saya ajak mengobrol, ternyata mereka mengalami kondisi psikologis yang lebih spesifik lagi yaitu kemarahan yang terpendam. Marah dengan keadaan, marah dengan masa lalu, marah dengan orang-orang, bahkan marah dengan Tuhan. Namun, begitu mereka berhasil melepas kemarahan, ikhlas memaafkan, dan menerima keadaan, kesembuhan lebih cepat dicapai. Paling tidak, mereka lebih tenang dalam menjalani proses pengobatan panjang dan sering kali menyakitkan, yang pada akhirnya juga mempercepat proses penyembuhan.

Nah, tulisan saya di buku ini saya ramu berdasarkan penelitian dan kasus-kasus tersebut. Saya menemukan pola yang sama dari orang-orang yang tidak mau melepas rasa sakit hatinya. Saya tarik esensinya menjadi satu artikel yang lebih ringan untuk dibaca dan dipahami. Bagaimana cara memaafkan yang benar dan dampaknya bagi kesehatan. Tulisan saya bersifat self-healing yang tidak hanya memberikan pemahaman namun juga dapat Anda praktekkan sendiri di rumah.

Semoga bermanfaat.


Salam,
Devira Sari, S. Psi, M. Psi, Psikolog.

2019