Rabu, 01 Maret 2017

Cerpen : TEMPAT UNTUK KEMBALI

TEMPAT UNTUK KEMBALI
Cerpen karya : Devira

Anna masih terbaring gelisah di ranjangnya. Bola matanya tampak bergerak-gerak di dalam kelopaknya. Mimpi itu datang lagi. Setiap kata-kata yang keluar dari orang di dalam mimpinya tak mampu diredam hujan yang deras. Masih sangat jelas, suara orang itu membuat hatinya berontak. 
“Anna. Hentikan! Aku tak suka melihat orang yang membohongi dirinya sendiri!”
Mata Anna refleks terbuka. Peluh mengalir di wajahnya. Dadanya sesak seolah-olah ada rantai yang dililitkan di tubuhnya yang dingin. Anna berusaha menahannya dengan nafas berat. Ia masih ingat. Seluruh tubuh orang itu yang kuyup diguyur hujan dari rambut panjangnya hingga kaos oblong tosca dan band biru tua di pergelangan tangan kanannya. Mata orang itu sendu namun cukup tajam untuk menghujam jantungnya.
Anna beranjak dari tempat tidur lalu membuka jendela kamarnya. Hari masih gelap. Ia memejamkan mata sambil menarik nafas dalam-dalam. Satu kali, dua kali, tiga kali. Mengisi paru-parunya dengan udara dingin. Kemudian ditutupnya kembali jendela itu.
Udara dingin mengisi paru-parunya, mengalir ke saraf-saraf otaknya dan menetralkan pikirannya dari bayang-bayang itu. Ia tak perlu menoleh ke kiri atas, ke arah jam dinding yang berada di atas rak bukunya. Ia menyadari ini belum lagi subuh dan tak bisa melanjutkan tidurnya lagi.
Seperti biasa, ia menghampiri kamar pakaiannya. Ada sesuatu di sudut sana, tertutup oleh kain tosca tua tebal. Ia tak pernah membukanya, namun ia tahu betul apa yang ada di balik kain tersebut. Sebuah gitar klasik akustik murahan. Matanya berkaca-kaca menahan pedih dalam dadanya. Seharusnya benda itu sudah dibuangnya 10 tahun lalu. Seharusnya. Ia segera menepis perasaannya dan beranjak dari sana.
***
“Mau beli gitar juga, Nak?” ia berada di sebuah pamaren alat musik, di Mall, ketika seorang nenek bertanya padanya.
“Hah...enggak Nek.” Ia kaget, namun mampu merubah wajah terkejutnya menjadi sebuah senyuman hangat. Ia melihat si nenek yang ternyata bersama seorang anak lak-laki 6 atau 7 tahun, pikir Anna.
“Cucu nenek mau belajar gitar. Dari umur 3 tahun sudah kelihatan minatnya di bidang musik.” Anna tidak begitu memperhatikan kata-kata si nenek. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya di sana.
“Kamu main gitar juga?” tanya si nenek.
“Umm..enggak nek,” Anna masih setengah menerawang, tak yakin dengan jawabannya. Ia merasa tidak nyaman namun tetap berusaha menjaga sikap. Si nenek kian dalam memperhatikannya,  melanjutkan pembicaraan.
“Kau tau nak. Kau sangat cantik.” kata si Nenek.
“Makasih, Nek,” Anna menampilkan senyum yang sangat manis.
“Senyummu sangat manis,” lanjut nenek. “Tapi kau tau itu tidak ada gunanya.”
“Aa..” Senyumnya sedikit meredup. Matanya bergerak-gerak, ia mencoba mencari kata-kata tapi kemudian ia putuskan untuk tidak berbicara.
“Anakku...meski kau tersenyum dengan sangat manis untuk memberikan kesan bahagia pada orang lain, tetap saja kau tak bisa membohongi dirimu sendiri.” Anna tertegun. Nenek menatapnya dengan lembut. Garis-garis kebijaksanaan di sekitar matanya terukir oleh kehidupan yang panjang dan berliku. Kemudian si nenek melangkah mendekat memegang pundak Anna, “Bahkan mataku yang rabun ini dapat melihat lubang yang besar di hatimu.”
Kali ini Anna tak dapat menahan ekspresinya. Senyum yang ia buat telah sepenuhnya hilang. Ada getaran hebat di dadanya. Ia berbalik badan, pergi.
“Jangan lari dari rasa takut, anakku. Jika kau lari, ketakutan itu akan mengejarmu,” sambil mengelus kepala cucunya yang masih memilih-milih gitar, si Nenek berkata.
            “Kembalilah...Hanya dengan begitu kau akan bahagia.”
Rasanya Anna ingin berhenti dan berbalik. Tapi, tidak! Ia telah memutuskan untuk tetap berjalan ke depan dan tak pernah lagi menoleh ke belakang.
***
Di depan cermin yang buram  Anna menatap sepasang mata yang sedang menatapnya.
“Sebenarnya siapa aku ini?” ia membathin. Menghapus embun di cermin, berusaha melihat lebih jelas dirinya sendiri. “Tak seorangpun tau siapa aku. Bahkan aku...”
“... kau tak bisa membohongi dirimu sendiri.” wajah nenek yang ditemuinya tempo hari berkelebat di cermin. Rahangnya seketika menegang dan tatapan kosongnya berubah nanar. “Bahkan mataku yang rabun ini dapat melihat lubang yang besar di hatimu.” Si nenek masih tersenyum lembut di dalam cermin. Lubang itu, ia pun bisa melihatnya. Ia berusaha keras tidak melihatnya, tapi gambaran itu semakin jelas. Silih berganti seperti video yang di fast-backward kemudian fast-forward kembali. “Jangan lari dari rasa takut, anakku. Jika kau lari, ketakutan itu akan mengejarmu.”
“..aku tak suka melihat orang yang membohongi dirinya sendiri!” Suara orang yang selalu datang dalam mimpinya menggema, memantul dari dinding-dinding lembab ruangan itu. Rasa dingin kembali menghujam perutnya. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya tapi tidak bisa. Mungkin karena ada sesuatu yang menahan atau mungkin karena tak ada yang dapat ia keluarkan. Sesuatu di kepalanya mengerang hebat, memohon kepada Tuhan untuk melepaskannya dari penderitaan. Air matanya mengucur deras. Tangannya mengepal di atas dadanya, menahan rasa sakit di sana.
“Aku memang pembohong, Han. Kau pantas membenciku.” Anna menghabiskan malam itu merangkul dirinya sendiri di lantai yang basah dan dingin.
***
Bermil-mil dari tempat dingin itu, Han sedang memandang ke arah pemandangan salju dari jendela apartemennya. Desember memang selalu dingin di situ. Sama dinginnya dengan yang ia rasakan di dalam hatinya, dalam kesendirian. Ia yang selalu menyukai kesendirian sambil menulis syair-syair dan menggubah lagu-lagu. Ia selalu menemukan kedamaian dan jati dirinya dengan hanya mendengarkan suara hatinya. Kapan tepatnya ia membenci kesendirian itu? Kapan tepatnya kesendirian itu berubah menjadi bayang-bayang yang membelenggu dan menenggelamkannya dalam lubang besar dalam hatinya? Kapan tepatnya ia mulai meragukan kata hatinya? Ia yang selalu penuh keyakinan telah menyerah pada takdir. Tapi benarkah? Benarkah ia menyerah. Tidak ada manusia yang mampu membohongi hatinya sendiri, bukan? Bahkan dirinya sendiri meyakini itu karena kenyataannya ia tetap sendiri. Ya, ia membenci kesendirian, namun ia tetap membiarkan dirinya dalam kesendiriannya. Pikirannya hanya miliknya sendiri, perasaannya hanya miliknya sendiri. Ia telah menciptakan berpuluh-puluh simfoni yang dinikmati banyak orang. Untuk siapa karya-karya itu dibuat?
Ia menatap sebuah tiket penerbangan di tangan kirinya. Sekali lagi ia ingin mempercayai hatinya. Tidak, sebenarnya hatinyalah yang terus memaksa untuk tetap percaya. Ia harus kembali.
Ia meletakkan tiket tersebut di atas meja di sebelah kirinya, tanpa berpindah posisi. Salju putih masih terhampar di hadapannya. Warna putih itu menyilaukan, memantulkan cahaya matahari. Ia melepaskan kacamatanya dan mengusap wajahnya dengan telapak tangan kirinya, mencoba menghapus bayang-bayang di sana. Namun, sekali lagi, tak ada manusia yang mampu membohongi dirinya sendiri. Di dalam lubuk hatinya, ia sepenuhnya mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya ada satu jawaban, Anna.
***
Anna menginjakkan kakinya kembali di kota itu. Ia duduk di bangku panjang di sebuah taman, tempat dimana seorang musisi miskin yang bercita-cita go international pernah mengajarinya teknik bermain gitar. Ia memandang ke sekeliling taman. Sudah banyak berubah, pikirnya. Tentu lah banyak perubahan. 10 tahun berlalu sejak ia pergi, lari dari perasaannya sendiri. Dirinya saat ini sendiri juga sudah banyak berubah.
Ia mendongak melihat gumpalan-gumpalan awan putih yang berarak di atasnya. Lalu ia memejamkan mata, menarik napas dan menghirup udara di sana. Tangannya menggenggam tepi bangku di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Angin berhembus pelan, sementara ia mengenang setiap momen yang ia lalui di sana. Wajah itu, tawa itu, suara itu...
“Aku tau kamu akan kembali....” Anna mendengar suara itu, namun kali ini lebih jelas dari ingatan yang sedang ia putar di kepalanya. Ia membuka matanya perlahan. “...Anna.”
Di depannya sosok itu berdiri. Penampilannya banyak berubah dari terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya lebih pendek dan tersisir rapi sekarang. Wajahnya tampak tegas dalam kedewasaan. Matanya yang sendu kini dibingkai oleh lensa kaca mata. Ia tak lagi memakai kaos oblong dan band biru tua di pergelangan tangan kanannya. Namun dari tatapan matanya, Anna yakin bahwa perasaan di hatinya tidak berubah sama sekali. Anna tersenyum, hatinya terasa sangat tenang. Ia tahu ia sudah seharusnya berada di sana. Lalu ia berdiri dari tempat duduknya, melangkah ke depan dan melingkarkan lengannya ke leher laki-laki yang balas merangkulnya itu.
“Han....”

***

Sudah diterbitkan di Rebana Analisa Minggu
06 September 2015