TEMPAT UNTUK KEMBALI
Cerpen karya
: Devira
Anna masih terbaring gelisah
di ranjangnya. Bola matanya tampak bergerak-gerak di dalam kelopaknya. Mimpi
itu datang lagi. Setiap kata-kata yang keluar dari orang di dalam mimpinya tak
mampu diredam hujan yang deras. Masih sangat jelas, suara orang itu membuat
hatinya berontak.
“Anna. Hentikan! Aku
tak suka melihat orang yang membohongi dirinya sendiri!”
Mata Anna refleks
terbuka. Peluh mengalir di wajahnya. Dadanya sesak seolah-olah ada rantai yang
dililitkan di tubuhnya yang dingin. Anna berusaha menahannya dengan nafas
berat. Ia masih ingat. Seluruh tubuh orang itu yang kuyup diguyur hujan dari
rambut panjangnya hingga kaos oblong tosca
dan band biru tua di pergelangan
tangan kanannya. Mata orang itu sendu namun cukup tajam untuk menghujam
jantungnya.
Anna beranjak dari
tempat tidur lalu membuka jendela kamarnya. Hari masih gelap. Ia memejamkan
mata sambil menarik nafas dalam-dalam. Satu kali, dua kali, tiga kali. Mengisi
paru-parunya dengan udara dingin. Kemudian ditutupnya kembali jendela itu.
Udara dingin mengisi
paru-parunya, mengalir ke saraf-saraf otaknya dan menetralkan pikirannya dari
bayang-bayang itu. Ia tak perlu menoleh ke kiri atas, ke arah jam dinding yang
berada di atas rak bukunya. Ia menyadari ini belum lagi subuh dan tak bisa
melanjutkan tidurnya lagi.
Seperti biasa, ia
menghampiri kamar pakaiannya. Ada sesuatu di sudut sana, tertutup oleh kain tosca tua tebal. Ia tak pernah
membukanya, namun ia tahu betul apa yang ada di balik kain tersebut. Sebuah
gitar klasik akustik murahan. Matanya berkaca-kaca menahan pedih dalam dadanya.
Seharusnya benda itu sudah dibuangnya 10 tahun lalu. Seharusnya. Ia segera menepis
perasaannya dan beranjak dari sana.
***
“Mau beli gitar juga,
Nak?” ia berada di sebuah pamaren alat musik, di Mall, ketika seorang nenek
bertanya padanya.
“Hah...enggak Nek.” Ia
kaget, namun mampu merubah wajah terkejutnya menjadi sebuah senyuman hangat. Ia
melihat si nenek yang ternyata bersama seorang anak lak-laki 6 atau 7 tahun,
pikir Anna.
“Cucu nenek mau belajar
gitar. Dari umur 3 tahun sudah kelihatan minatnya di bidang musik.” Anna tidak
begitu memperhatikan kata-kata si nenek. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya
di sana.
“Kamu main gitar juga?”
tanya si nenek.
“Umm..enggak nek,” Anna
masih setengah menerawang, tak yakin dengan jawabannya. Ia merasa tidak nyaman namun
tetap berusaha menjaga sikap. Si nenek kian dalam memperhatikannya, melanjutkan
pembicaraan.
“Kau tau nak. Kau
sangat cantik.” kata si Nenek.
“Makasih, Nek,” Anna
menampilkan senyum yang sangat manis.
“Senyummu sangat
manis,” lanjut nenek. “Tapi kau tau itu tidak ada gunanya.”
“Aa..” Senyumnya
sedikit meredup. Matanya bergerak-gerak, ia mencoba mencari kata-kata tapi
kemudian ia putuskan untuk tidak berbicara.
“Anakku...meski kau
tersenyum dengan sangat manis untuk memberikan kesan bahagia pada orang lain,
tetap saja kau tak bisa membohongi dirimu sendiri.” Anna tertegun. Nenek
menatapnya dengan lembut. Garis-garis kebijaksanaan di sekitar matanya terukir
oleh kehidupan yang panjang dan berliku. Kemudian si nenek melangkah mendekat
memegang pundak Anna, “Bahkan mataku yang rabun ini dapat melihat lubang yang
besar di hatimu.”
Kali ini Anna tak dapat
menahan ekspresinya. Senyum yang ia buat telah sepenuhnya hilang. Ada getaran
hebat di dadanya. Ia berbalik badan, pergi.
“Jangan lari dari rasa
takut, anakku. Jika kau lari, ketakutan itu akan mengejarmu,” sambil mengelus
kepala cucunya yang masih memilih-milih gitar, si Nenek berkata.
“Kembalilah...Hanya dengan begitu kau
akan bahagia.”
Rasanya Anna ingin
berhenti dan berbalik. Tapi, tidak! Ia telah memutuskan untuk tetap berjalan ke
depan dan tak pernah lagi menoleh ke belakang.
***
Di depan cermin yang
buram Anna menatap sepasang mata yang
sedang menatapnya.
“Sebenarnya siapa aku
ini?” ia membathin. Menghapus embun di cermin, berusaha melihat lebih jelas
dirinya sendiri. “Tak seorangpun tau siapa aku. Bahkan aku...”
“... kau tak bisa membohongi
dirimu sendiri.” wajah nenek yang ditemuinya tempo hari berkelebat di cermin. Rahangnya
seketika menegang dan tatapan kosongnya berubah nanar. “Bahkan mataku yang
rabun ini dapat melihat lubang yang besar di hatimu.” Si nenek masih tersenyum
lembut di dalam cermin. Lubang itu, ia pun bisa melihatnya. Ia berusaha keras
tidak melihatnya, tapi gambaran itu semakin jelas. Silih berganti seperti video
yang di fast-backward kemudian fast-forward kembali. “Jangan lari dari
rasa takut, anakku. Jika kau lari, ketakutan itu akan mengejarmu.”
“..aku tak suka melihat
orang yang membohongi dirinya sendiri!” Suara orang yang selalu datang dalam
mimpinya menggema, memantul dari dinding-dinding lembab ruangan itu. Rasa
dingin kembali menghujam perutnya. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya tapi
tidak bisa. Mungkin karena ada sesuatu yang menahan atau mungkin karena tak ada
yang dapat ia keluarkan. Sesuatu di kepalanya mengerang hebat, memohon kepada
Tuhan untuk melepaskannya dari penderitaan. Air matanya mengucur deras. Tangannya
mengepal di atas dadanya, menahan rasa sakit di sana.
“Aku memang pembohong,
Han. Kau pantas membenciku.” Anna menghabiskan malam itu merangkul dirinya
sendiri di lantai yang basah dan dingin.
***
Bermil-mil dari tempat
dingin itu, Han sedang memandang ke arah pemandangan salju dari jendela
apartemennya. Desember memang selalu dingin di situ. Sama dinginnya dengan yang
ia rasakan di dalam hatinya, dalam kesendirian. Ia yang selalu menyukai
kesendirian sambil menulis syair-syair dan menggubah lagu-lagu. Ia selalu
menemukan kedamaian dan jati dirinya dengan hanya mendengarkan suara hatinya.
Kapan tepatnya ia membenci kesendirian itu? Kapan tepatnya kesendirian itu
berubah menjadi bayang-bayang yang membelenggu dan menenggelamkannya dalam
lubang besar dalam hatinya? Kapan tepatnya ia mulai meragukan kata hatinya? Ia
yang selalu penuh keyakinan telah menyerah pada takdir. Tapi benarkah? Benarkah
ia menyerah. Tidak ada manusia yang mampu membohongi hatinya sendiri, bukan?
Bahkan dirinya sendiri meyakini itu karena kenyataannya ia tetap sendiri. Ya, ia
membenci kesendirian, namun ia tetap membiarkan dirinya dalam kesendiriannya.
Pikirannya hanya miliknya sendiri, perasaannya hanya miliknya sendiri. Ia telah
menciptakan berpuluh-puluh simfoni yang dinikmati banyak orang. Untuk siapa
karya-karya itu dibuat?
Ia menatap sebuah tiket
penerbangan di tangan kirinya. Sekali lagi ia ingin mempercayai hatinya. Tidak,
sebenarnya hatinyalah yang terus memaksa untuk tetap percaya. Ia harus kembali.
Ia meletakkan tiket
tersebut di atas meja di sebelah kirinya, tanpa berpindah posisi. Salju putih
masih terhampar di hadapannya. Warna putih itu menyilaukan, memantulkan cahaya
matahari. Ia melepaskan kacamatanya dan mengusap wajahnya dengan telapak tangan
kirinya, mencoba menghapus bayang-bayang di sana. Namun, sekali lagi, tak ada
manusia yang mampu membohongi dirinya sendiri. Di dalam lubuk hatinya, ia sepenuhnya
mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya ada satu jawaban, Anna.
***
Anna menginjakkan
kakinya kembali di kota itu. Ia duduk di bangku panjang di sebuah taman, tempat
dimana seorang musisi miskin yang bercita-cita go international pernah mengajarinya teknik bermain gitar. Ia
memandang ke sekeliling taman. Sudah banyak berubah, pikirnya. Tentu lah banyak
perubahan. 10 tahun berlalu sejak ia pergi, lari dari perasaannya sendiri. Dirinya
saat ini sendiri juga sudah banyak berubah.
Ia mendongak melihat
gumpalan-gumpalan awan putih yang berarak di atasnya. Lalu ia memejamkan mata,
menarik napas dan menghirup udara di sana. Tangannya menggenggam tepi bangku di
sisi kiri dan kanan tubuhnya. Angin berhembus pelan, sementara ia mengenang
setiap momen yang ia lalui di sana. Wajah itu, tawa itu, suara itu...
“Aku tau kamu akan
kembali....” Anna mendengar suara itu, namun kali ini lebih jelas dari ingatan
yang sedang ia putar di kepalanya. Ia membuka matanya perlahan. “...Anna.”
Di depannya sosok itu
berdiri. Penampilannya banyak berubah dari terakhir kali ia melihatnya.
Rambutnya lebih pendek dan tersisir rapi sekarang. Wajahnya tampak tegas dalam
kedewasaan. Matanya yang sendu kini dibingkai oleh lensa kaca mata. Ia tak lagi
memakai kaos oblong dan band biru tua
di pergelangan tangan kanannya. Namun dari tatapan matanya, Anna yakin bahwa
perasaan di hatinya tidak berubah sama sekali. Anna tersenyum, hatinya terasa
sangat tenang. Ia tahu ia sudah seharusnya berada di sana. Lalu ia berdiri dari
tempat duduknya, melangkah ke depan dan melingkarkan lengannya ke leher
laki-laki yang balas merangkulnya itu.
“Han....”
***
Sudah diterbitkan di Rebana Analisa Minggu