Senin, 14 Maret 2016

PUISI : KITA DAN SIBAYAK (catatan perjalanan OTR Labsas)

KITA DAN SIBAYAK

Langkah-langkah pelan di gelap dini hari
Jejak-jejak kita tabur di jalan menanjak terjal
Hingga setapak berbatu
Jalan mendaki dan berliku
Dingin berangin
Tiada peluh menyuluh

Dan masih,
Rindu yang menggantung di sana
Terukir lewat syair2 yang tersusun berirama
Lewat napas yang menderu
Menjadi saksi perjalanan panjang

Aku dan kalian adalah kita
Visi dan rasa adalah semangat
Ialah cinta yang bernama cita
Yang membawa kita tiba
Hingga Sibayak bertekuk di bawah kaki kita


Devira, Maret 2015
(catatan perjalanan komunitas Laboratorium Sastra, Parapat-Sibayak)







PUISI BUAT IBU


: jmrt6203

Seharian ini langit bermega

Sesekali gerimis menangis

Mungkin aku tak pernah paham ramalan alam

Pun rinai enggan membisikkan jawaban

Namun aku selalu ingat di malam paling pekat itu, di ujung lorong mimpi

Selaksa kupu-kupu berdansa dalam allegretto di antara jasmin, rosa dan salvia

Menebar sari bersama sendalu mmelewati anak-anak sungai

Tempat itu pasti ada!

Jadi jangan menangis lagi, Ibu

Desember punya kita

Biar saja senja berjelaga


Devira, 22 Desember 2014


(Sudah diterbitkan dalam Rebana Analisa Minggu, 24 Mei 2015)


MEMBACA PAGI


MEMBACA PAGI

di celah nyanyian daun-daun dan udara basah
pagi tak pernah hening pun tak pernah bergeming
tarian embun gemulai perlahan jatuh ke haribaan
melebur resah tanah basah
kicau burung yang bukan sekedar meracau
ialah kegembiraan sambutan selamat datang pada fajar
senyum-senyum yang terkulum ranum
cercah-cercah yang mengintip di celah-celah gundah
menjemput asa

DEVIRA
Taman Budaya, 2014
(Sudah dibukukan dalam antologi sastra "PROSA", Medan, 2015)






Minggu, 06 Maret 2016

PUISI BERGEMBIRA KARENA DAN UNTUKMU, PENYAIR

PUISI BERGEMBIRA KARENA DAN UNTUKMU, PENYAIR
: Prof. DAM



demi darah yang mengalir di urat nadi
dan ilmu yang engkau amanatkan
puisi tetap di sini, tak pernah pergi
menemani dan menjaga jiwa-jiwa bersahaja dari hampa dan lara
kadang ia tertawa bersama awan
bersenda gurau bersama angin
bertafakur di tengah malam
bernyanyi di tengah hujan
ia bukan pendusta
pun bukanlah fasik

Dan lihatlah,
Liuk Pedestrian di atas Batang Hari
juga detak Gentala Arasy di jantung kota
Bersuka cita di hari lahir Penyairnya

Oiih Guru...
56 syair tak akan cukup menjabar dedikasimu
56 garis senja tak akan cukup mengurai bijaksanamu
56 kitab tak akan cukup menyalin nasehatmu
56 simpul senyum tak akan cukup mengungkap rendah hatimu

Semoga Pemilik Keindahan dan Kehidupan
Selalu memberikan pancaran cahaya di tiap larik goresan penamu
Menjadikannya penghapus pekat dengan aksara
Pengasah akal dengan logika bahasa
Pengolah rasa  dengan rima dan irama 
Pemandu langkah dan perilaku
Pembeda dari fatamorgana dan bayang-bayang 

Semoga kasih-Nya senantiasa menyertai
Amin.

Devira
Medan, 03 Juli 2015

*Puisi ini dirangkai teruntuk guru sastraku, Prof. Dr. Sudaryono, pada peringatan hari lahirnya ke 56. Beliau merupakan seorang guru besar dari Universitas Jambi




KEPADA LANGIT

: Langit

Jemu yang meramu anak-anak rindu dalam semu

Tikai tanpa perisai
Seringai-seringai penetak damai

Duhai langit,
Aku masih di sini
menemanimu dari kejauhan
Di beranda, dalam terjaga
aku menelaah aksara Nyanyian Kafilah
Melukis frasa dan birama
mengisi ketiadaan cirrus dan kebisuan cumulus

Devira, 23052015




shortwriting : Sunset


Mentari jingga berjalan menuju kaki langit.

Melukis samudera dengan cahaya lembutnya, kemudian membias pada wajah para pencinta.
Senja, pelan-pelan menghilang dari pandangan dan berganti malam. 
Sunset at the west
Februari, 2015

Senja sering dimaknai sebagai masa menuju akhir, usia yang sudah lanjut atau pintu perpisahan, seolah-olah menggambarkan kedukaan mendalam.
Tapi tahukah engkau, senja itu jingga bukan jelaga. Ia memberikan nuansa sendu nan romantis dan masa menuju akhir yang tenang, bukan nuansa kelam yang penuh nestapa. Oleh karena itu, senja sering menjadi tema dalam syair atau puisi. Para pemuja senja bukan hanya dari kalangan penyair atau sastrawan saja, melainkan juga orang awam dari berbagai usia, status sosial ekonomi, jenis kelamin, latar belakang keluarga dan lainnya.
Itulah salah satu bukti betapa Tuhan Maha Adil dan Maha Kasih. Ia ciptakan langit begitu indah yang dapat dinikmati siapa saja. Hanya dengan memandangnya saja hati manusia menjadi tenang oleh rasa syukur.



shortwriting by Devira

2015

RESENSI BUKU SASTRA : Rendezvous

Mmmm...di bawah ini resensi buku yang pertama kali aku buat untuk perlombaan. Alhamdulillah menang dan sudah masuk dalam buku antologi resensi. Yang ngadain lomba adalah salah seorang guru sastraku, seorang guru besar dari Universitas Jambi. Yah, gitu lah....gak pinter basa basi akunya :D
oia, waktu buku ini terbit, aku lagi suka-sukanya sama warna Maroon. Timingnya passs...



Judul              : Rendezvous di Muara Kasih
Jenis Buku     : Antologi Puisi
Pengarang      : Dimas Arika Mihardja (DAM), Rahma Bachmid (RB), Yosy Kasih Azalia (YKA)
ISBN               : 978-602-1048-07-8
Tahun terbit : Cetakan Pertama, Januari 2015
Tebal              : i - xvi + 188 Halaman
Penerbit          : Bengkel Publisher


(AJARI AKU, DAM & YKA, halaman 175)
Ajari aku mengenal malam, agar mesra dengan rembulan
Ajari aku mengerti suara hati, kelopak bunga resah, bibir pasrah
Ajari aku aksara, akan kueja c-i-n-t-a, merangkai berjuta kisah pesona, menikmati tiap inci sabdanya, demi sebuah kesucian rasa
Ajari aku makna setia, menyatukan puzzle berserak, burai oleh kejujuran retak, mampukah utuh? Tidak! Dan kalaupun bisa, hanya bak lukisan bulan merah
Ajari aku menghapus rindu, membuat segalaku terkujur pasi, hidup segan mati tak sudi, abadi dalam kehampaan hati, mati suri

Dam feat Ys, 2014

Buku ini berisi pemikiran dan perasaan penyair mengenai kasih kepada sesama manusia, diri sendiri dan Tuhan. Tentu ada alasan mengapa Rendezvous di Muara Kasih dipilih menjadi judul buku ini. Rendezvous (baca : randevu) berarti pertemuan atau tempat berkumpul. Muara merupakan tempat berakhirnya aliran sungai di laut, danau, atau sungai lain; sungai yg dekat dng laut. Kasih adalah perasaan cinta/sayang/suka kepada objek kasih. Muara kasih jika kita gabungkan menjadi satu frase bisa bermakna tempat berakhirnya pencarian terhadap objek kasih menjadi sesuatu yang lebih luas dan mendalam. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa buku ini bercerita tentang pertemuan dimana dalam pertemuan tersebut orang-orang yang terlibat di dalamnya membahas mengenai kasih dan kemudian berbagi kasih kepada orang banyak.

Puisi “Ajari Aku” mencoba merangkum unsur-unsur di dalam kasih. “Ajari aku” bukan hanya menjadi judul puisi tersebut melainkan secara repetitif disebutkan di setiap awal kalimat. Ini menggambarkan bahwa meskipun kasih telah ada dalam tiap-tiap individu, tetap saja perilaku mengasihi perlu dipelajari melalui proses. Mulai dari “mengenal”, “mengerti suara hati”, “mengeja cinta”, belajar “makna setia”, hingga “menghapus rindu” dan tidak menutup kemungkinan ada proses yang lain.

Kasih dapat diibaratkan sungai. Mengalir dari hulu sebagai mineral murni menuju hilir dengan melewati proses panjang, berliku, bercabang bahkan mengalami kontaminasi dari berbagai sumber baik yang alami maupun buatan. Setelah perjalanan panjang tersebut sungai pun bermuara di lautan/danau, berkumpul bersama aliran sungai yang lain. Rendezvous. Berkumpul sambil menunggu waktunya berkondensasi menjadi awan hujan dan kembali ke hulu. Seperti itulah saya memahami judul antologi puisi ini. Bahwa kasih adalah seperti sungai, murni berasal dari Sang Maha Kasih. Kasih itu mengalir sesuai dengan ceruk menuju tujuannya. Dalam perjalanannya, kasih akan diuji dengan waktu, jarak, konflik, dan mungkin perpisahan. Berangsur-angsur memudar kejernihannya namun dengan begitulah ia akan mendewasa dan menjadi kuat. Walau begitu, ia tetap mengalir, tetap mengikuti alurnya yaitu batasan-batasan yang menjaga kasih itu tetap pada tujuannya. Pada ujung perjalanannya, kasih pun bermuara ke tempat berkumpulnya para pejuang kasih, yaitu mereka yang juga telah melewati tempaan dan ujian. Tempat yang luas dan dalam. Membaur dan berbagi hingga tiba waktunya mereka menyebar kasih ke muka bumi dan mengembalikan segala kasih kepada Pemiliknya, tempat asal kasih yang murni.

(SAAT KEJADIAN, DAM, halaman 53)
Saat kejadian;
Adam sendiri di bawah pohon kuldi
Jakunnya naikturun sendiri
Mengunyah sepi
Lalu “Kun”
Hawa menemani
Merajut kesetiaan purbani
KUN
Monyetmonyet bergelantungan di dahan
Berkembang biak melahirkan darwin
Mereka berkawan dan kawin
Lahirlah evolusi sejarah
Menghilangnya ekor demi ekor
Melupa dalil dan dogma
:
Ada cinta di mesjid
Ada sapa di gereja
Ada makna di vihara
Ada kata di pundipundi
Jadilah puisi
Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010-2014

Bukan hal yang mudah untuk memiliki kasih. Orang-orang bisa dengan mudah berucap kasih namun pada prakteknya tak sembarang orang mampu memikul tanggung jawab dari kasih itu sendiri. Kasih tak hanya penerimaan, kasih adalah tanggung jawab. Jika berbicara tentang kasih yang sesungguhnya kita sedang berbicara tentang komitmen. Oleh sebab itu, hanya orang dewasa dan kuat lah yang diamanatkan untuk memilikinya. Bukan kasih apabila dibarengi dengan kata “karena” kecuali nama Tuhan yang mengikutinya.

(MELEWATI, RB, halaman 66)
Senja tak pernah menungguku
dia pergi tanpa kusapa : sepi menari
sendiri
Tak perlu kumenunggu senja
gerbong-gerbong kereta
melewati rel-rel : sepi
sendiri
Nopember, 2014

Puisi singkat di atas menceritakan kehampaan dan penderitaan hati seorang manusia yang tak memiliki tempat melabuhkan kasih, sehingga ia hidup dalam sepi sampai ujung usianya. Sementara “gerbong-gerbong kereta” terus lalu lalang melewatinya, ia tetap sendiri dalam sepi. Betapa hidup sendiri adalah menentang kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang butuh memberi dan menerima kasih.

Kasih merupakan topik yang tak pernah bosan-bosannya dibahas. Beberapa orang menganggap kasih sebaiknya disimpan di dalam hati, menjadikannya tetap suci dengan hanya kita dan Tuhan yang tahu. Mungkin hal ini ada benarnya dengan mengacu pada kemurnian kasih tersebut. Kasih berasal dari Tuhan dan akan kembali pada-Nya. Perasaan apapun bentuknya merupakan anugerah. Perasaan tak seharusnya dibiarkan berserak dan berceceran sehingga menjadikannya murah dan kotor.

Puisi adalah media kreatif untuk menuangkan perasaan individu. Selain itu puisi juga merupakan curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke dalam keadaan hatinya. Melalui metafora dan pemilihan diksi yang tepat, perasaan manusia menjadi indah, bernilai tinggi dan tetap suci walau telah di-publish dan menjadi milik pembaca. Secara psikologis, puisi merupakan media katarsis dimana penyair memperoleh kelegaan jiwa setelah merampungkan tulisannya. Dengan begitu, penyair dapat terhindar dari masalah psikologis akibat perasaan yang lama terpendam. Ya, perasaan apabila tidak disalurkan dapat menjadi penyakit. Dengan kata lain, puisi merupakan media mengungkapkan perasaan manusia yang tidak hanya menjadikan perasaan manusia “mahal” namun juga punya efek menyehatkan.

Buku ini merupakan antologi (kumpulan) puisi tiga orang penyair dari latar belakang yang berbeda-beda yang pada akhirnya dipertemukan oleh puisi. Yosy Kasih Azalia (YKA), seorang ibu rumah tangga yang menyukai dunia puisi dan telah banyak menghasilkan karya yang terangkum dalam dua buku puisi. Selain itu, ibu dua anak ini memiliki blog pribadi yang penuh dengan puisi bertema cinta. Dunia maya telah menjadi sahabat karibnya dalam mengisi hari-hari sebagai ibu rumah tangga. Pada antologi ini, YKA banyak mengusung tema rindu. Melalui puisi-puisinya, ia membawa para pembaca memahami kemurnian perasaannya dan betapa sensitifnya hati seorang perempuan. Beberapa puisinya dalam buku ini memiliki kekayaan diksi dan makna yang mendalam mengenai cinta, rindu, penantian dan ketabahan seorang perempuan juga seorang hamba Tuhan.

(KISAH KASIH, YKA, hal 178)
Sepiku(l) sepi(sau) sepi nian atmaku mencumbui bebayang mimpi
Memikul beban, sendiri meraba sunyi
Hampaku selengang nian menikam nyeri menelan keinginan
Menanti hujan bersenggama gersang hati
Bekuku, sepucat rendaman salju halwaku sendiri tertidur dalam
Gigil lena memilin imajinasi terjerit puas sececap pejam netra
Ah, gairah nan malang setengah pasang setengah surut lepas
Tangkap naluriku melunjak tersadar lelah dipermainkan ombak
YsJambi, 240914

(PELANA DUNIA, YKA, hal 168)
Doa-doaku saling memekik berebut tinta
Katanya; mereka ingin memuisikan apa yang ada di rerongga dada;
Nama-Mu, Tuhan
Kala mentari pagi kian rekah, apapun tak ada yang kuketahui tentang takdir, selain menyambut hari dengan pasrah dan mencintai-Mu, tanpa lelah
Di lingkar langit lazuardi, kutulis gurat-gurat doa yang ditadaruskan pagi, pun mentari ikut-ikut menuntaskannya
dengan senyum asa penuh arti
Kepada doaku, anak camar berbisik; di pelana dunia yang hingar nan hambar ini
Kau harus belajar sabar, doaku mengangguk pasrah. tabah. rebah.
Yskasih, 011014

Rahma Bachmid (RB) telah menjadi seorang single parent dari tiga orang putri sejak sepuluh tahun yang lalu. Perempuan yang akrab dipanggil Ra ini menilai sastra sebagai dunia yang hangat  dan bersahabat. RB telah mulai berkarya sejak SMP dengan menulis puisi dan mengirimkannya ke media massa. Beberapa karyanya telah terbit di koran daerah dan majalah. Pada buku ini, RB dengan syahdu mengungkapkan perasaannya melalui puisi-puisi yang mencerminkan kerasnya hidup yang dialaminya. Puisi-puisinya bernuansa sendu dan banyak menggambarkan tentang perjuangan hidup, kerinduan, kehilangan, harapan hingga kepasrahan kepada Sang Pencipta. Beberapa puisi RB di dalam buku ini merupakan puisi singkat namun tetap mampu merepresentasikan kehidupan seorang RB.

(Kemelut Kehidupan, RB, hal 76)
Kuajak seisi semesta berbaring,
Ladang masing mengering
Badai datang menerjang
Oktober, 2014

 (Kekasih, RB, hal 92)
Suaraku tertahan di sebatang ranting yang kering
Menusuki jemari-jemariku yang kaku menggigil
Muara kasihku tertinggal di tulang yang pecah berbaring
Kekasih, ke mana tulang rusukmu, di sandaranku yang patah
Memujamu, berlalu menerpa dahan-dahanku yang basah
Nopember, 2014

(Hujan Belum Juga Pergi, RB, hal 93)
Hujan tak kan pernah pergi
Ia masih di sini setia
Mencumbu debu-debu, menguap basah di tanah-tanah kering yang bisu
Meneriakkan kegundahan dalam dingin berembun
Setia menemani dini hari yang sepi
Hujan belum juga pergi
Masih setia menunggu
Hujan dan hujan lagi
Masih setia menemani
 Nopember, 2014

 (Mencari, RB, hal 100)
Sayatan ini mengelupas nadiku, kutahu kamu ada tuhan
Benturan ini memanggang perutku, kutahu kamu ada tuhan
Tumpukan-tumpukan menjerat menggunung, kutahu kamu ada tuhan
Semua jelas penglihatan-Mu,
Dan penglihatanku buta
Mencari ke mana-mana
2014

Terakhir, penyair utama dalam antologi ini adalah Dimas Arika Mihardja (DAM). Pemilik nama asli Sudaryono ini adalah seorang penyair, akademisi dan penyuka budaya yang berdomisili di Jambi. Hasil karya beliau meliputi puisi, cerpen, novel, esai, kritik sastra dan kajian sastra. Tulisan-tulisannya telah diterbitkan di media massa lokal dan di antologi tunggal maupun antologi bersama nasional maupun internasional, sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Sebagai seorang Guru Besar, Prof. DAM (begitu panggilan akrabnya) tidak hanya menjadi dosen di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Jambi, namun juga aktif berkarya dan mengajar di ranah informal. Puisi 2koma7 dan Taman Puisi dan Laman Bunga Hati adalah tempatnya berkarya dan mengajar di media sosial. Selain itu, ada pula Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM) yang merupakan sebuah sanggar penulisan puisi kreatif yang beliau dirikan dan masih aktif hingga sekarang. BPSM secara langsung atau tidak langsung memfasilitasi dunia literasi demi kemajuan dunia perpuisian di Indonesia, termasuk ke kancah manca negara. Beliau paham betul betapa gelar kehormatan yang disematkan di depan namanya tersebut tak lain adalah tanggung jawab yang luar biasa besar bagi bidang pendidikan. Konsistensinya dalam berkarya merupakan bukti kasihnya pada dunia pendidikan dan kepenulisan. Meski telah melampaui usia setengah abad dan memperoleh gelar tertinggi dalam dunia pendidikan formal, beliau menegaskan bahwa dirinya masih tetap belajar. Beliau yakin bahwa pada hakikatnya belajar adalah seumur hidup. Kerendahan hati seorang Prof. DAM inilah yang membuatnya dikasihi oleh mahasiswa-mahasiswanya dan orang-orang yang mengenalnya (baik secara personal maupun melalui karya-karyanya). Saya selalu mengingat nasehat yang beliau katakan ketika berdialog di media sosial bahwa walaupun teori tidak selalu sejalan dengan praktek, kita tetap harus berpegang teguh pada keyakinan agama, pengetahuan moral dan etika. Dengan begitu kita bisa membentengi diri dari pengaruh buruk perkembangan zaman. Beliau juga menegaskan bahwa ilmu itu sebagai pemandu langkah dan perilaku.

Sesuai dengan judulnya, Rendezvous di Muara Kasih, saya yakin buku ini dapat menjadi tempat berkumpulnya orang-orang terpilih yang dianugerahkan kasih oleh Sang Maha Kasih yang mampu menyebar kasih ke seluruh dunia.



Bandung, April 2015
(Memenangkan lomba resensi yang diadakan oleh penulis buku dan dibukukan dalam (R)ESENSI SASTRA, 2015)

Rabu, 02 Maret 2016

Pale Moon


Pale moon of January hide the color of the sun
And after the night that seems like never end will come a gentle dawn (Devira, Januari 2013)

Gambar dan tulisan yang aku buat beberapa tahun lalu.
Hari ini, walau tanpa gitarku dan tanpa bertemankan rembulan, tapi aku yakin bahwa gentle dawn will always come to our heart.

Jatinangor, 02 Januari 2016


ADA KALANYA...

Ada kalanya hati ini ingin berhenti

Berhenti berharap

Berhenti bermimpi

Berhenti berusaha

Namun kuasa itu bukan aku yang punya, sedangkan Yang Punya Kuasa belum bersedia memberikannya. Hidup terus berlanjut dan waktu tak pernah mau menunggu. Tak ada toleransi bagi mereka yang berdiam diri.

Karenanya kuputuskan untuk terus maju. Tak ada jalan lain, Kawan.



Jatinangor, 26 Juli 2015

Selasa, 01 Maret 2016

CERITA TENTANG KITA #2 : Find Your Self



FIND YOUR SELF



08.30 pagi. 2010


Kita duduk berhadapan dipisahkan meja persegi yang dipenuhi berkas.


“Find yourself, Vi,” katamu menutup interview panjang itu. Satu jam bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah wawancara kerja dimana aku tidak diterima.


Keningku masih berkerut saat aku meninggalkan gedung itu. Aku mulai mengembara mencari apa yang kau titahkan, wahai Guruku: mencari jati diri. Hingga suatu titik dimana lututku bergetar dan aku tak mampu berjalan lagi. Saat itu Tuhan membisikkan pemahaman di hatiku. “Bukankah setiap manusia dilahirkan dengan jati dirinya masing-masing? Kemanapun hilangnya, sesuatu yang memang milik kita pasti akan kembali kepada kita.”


Aku masih mengingat wajahmu, Ibu. After dig a grave and bury the hatchet, i choose to live my life with smile, until we meet again. Someday. InsyaAllah ^_^


10 Desember, 2014
Devira

CERITA TENTANG KITA #1




: KITA

Ingatkah kau, saat kita masihlah seonggok risau
yang sama-sama nyaris tenggelam dalam bayang-bayang
Ingatkah kau, dulu kita pernah berseteru dalam argumen
Saat itu kau bagaikan bintang yang tertutup awan hitam
lirih kau berkata padaku,

"kita tak seperti mereka, Vi.”

"Sementara mereka pelan-pelan tumbuh menjulang ke atas
kita harus berdamai dengan tanah dimana kita tumbuh
Sementara mereka terus  sibuk merangkai mimpi demi mimpi baru
kita harus berkeringat untuk sekedar hidup dan berlari untuk mengejar ketertinggalan kita
Kita harus mengetuk banyak pintu hingga menemukan orang yang sudi memegang tangan kita dan menuntun kita maju."

Kita berbeda.”

Tentu saja tidak ada manusia yang sama
Dan memahami bukan lah hal yang mudah, 
bahkan bagi orang yang mendedikasikan dirinya untuk itu
Wajar saja kalau mereka tidak mengerti
Kita dan mereka memang berbeda

Tapi inilah hidup kita, pemberian dari Yang Memiliki Kehidupan
Justru karena kita pernah nyaris tenggelam dalam bayang-bayang kita jadi lebih berhati-hati dalam menjalani hidup
Karena kita memerlukan waktu lama untuk berdamai dengan tanah di mana kita tumbuh, kita jadi lebih sadar diri dan memahami siapa kita sebenarnya
Karena kita harus berkeringat untuk sekedar hidup dan berlari untuk mengejar ketertinggalan, kita menjadi terbiasa berusaha dan bergerak lebih cepat
dan hasil dari itu, kita jadi lebih mampu melakukan yang mungkin tidak mampu mereka lakukan : berempati dan menghargai, mengucap maaf dan terima kasih

Jadi, apa lagi yang  perlu dikhawatirkan tentang itu?

DEVIRA
Jatinangor, Agustus 2015