Mmmm...di bawah ini resensi buku yang pertama kali aku buat untuk perlombaan. Alhamdulillah menang dan sudah masuk dalam buku antologi resensi. Yang ngadain lomba adalah salah seorang guru sastraku, seorang guru besar dari Universitas Jambi. Yah, gitu lah....gak pinter basa basi akunya :D
oia, waktu buku ini terbit, aku lagi suka-sukanya sama warna Maroon. Timingnya passs...
Judul :
Rendezvous di Muara Kasih
Jenis Buku : Antologi Puisi
Pengarang : Dimas Arika
Mihardja (DAM), Rahma Bachmid (RB), Yosy Kasih Azalia (YKA)
ISBN :
978-602-1048-07-8
Tahun terbit : Cetakan Pertama,
Januari 2015
Tebal : i - xvi + 188
Halaman
Penerbit : Bengkel
Publisher
(AJARI AKU, DAM & YKA, halaman 175)
Ajari
aku mengenal malam, agar mesra dengan rembulan
Ajari
aku mengerti suara hati, kelopak bunga resah, bibir pasrah
Ajari
aku aksara, akan kueja c-i-n-t-a, merangkai berjuta kisah pesona, menikmati
tiap inci sabdanya, demi sebuah kesucian rasa
Ajari
aku makna setia, menyatukan puzzle berserak, burai oleh kejujuran retak,
mampukah utuh? Tidak! Dan kalaupun bisa, hanya bak lukisan bulan merah
Ajari
aku menghapus rindu, membuat segalaku terkujur pasi, hidup segan mati tak sudi,
abadi dalam kehampaan hati, mati suri
Dam
feat Ys, 2014
Buku
ini berisi pemikiran dan perasaan penyair mengenai kasih kepada sesama manusia,
diri sendiri dan Tuhan. Tentu ada alasan mengapa Rendezvous di Muara Kasih dipilih menjadi judul buku ini. Rendezvous (baca : randevu) berarti pertemuan
atau tempat berkumpul. Muara merupakan tempat
berakhirnya aliran sungai di laut, danau, atau sungai lain; sungai yg dekat dng
laut. Kasih adalah perasaan cinta/sayang/suka kepada objek kasih. Muara kasih
jika kita gabungkan menjadi satu frase bisa bermakna tempat berakhirnya
pencarian terhadap objek kasih menjadi sesuatu yang lebih luas dan mendalam.
Dari situ dapat kita simpulkan bahwa buku ini bercerita
tentang pertemuan dimana dalam pertemuan tersebut orang-orang yang terlibat di
dalamnya membahas mengenai kasih dan kemudian berbagi kasih kepada orang banyak.
Puisi “Ajari
Aku” mencoba merangkum unsur-unsur di dalam kasih. “Ajari aku” bukan hanya
menjadi judul puisi tersebut melainkan secara repetitif disebutkan di setiap
awal kalimat. Ini menggambarkan bahwa meskipun kasih telah ada dalam tiap-tiap
individu, tetap saja perilaku mengasihi perlu dipelajari melalui proses. Mulai
dari “mengenal”, “mengerti suara hati”, “mengeja cinta”, belajar “makna setia”,
hingga “menghapus rindu” dan tidak menutup kemungkinan ada proses yang lain.
Kasih dapat diibaratkan sungai. Mengalir dari hulu
sebagai mineral murni menuju hilir dengan melewati proses panjang, berliku,
bercabang bahkan mengalami kontaminasi dari berbagai sumber baik yang alami
maupun buatan. Setelah perjalanan panjang tersebut sungai pun bermuara di
lautan/danau, berkumpul bersama aliran sungai yang lain. Rendezvous. Berkumpul sambil menunggu waktunya berkondensasi
menjadi awan hujan dan kembali ke hulu. Seperti itulah saya memahami judul
antologi puisi ini. Bahwa kasih adalah seperti sungai, murni berasal dari Sang
Maha Kasih. Kasih itu mengalir sesuai dengan ceruk menuju tujuannya. Dalam
perjalanannya, kasih akan diuji dengan waktu, jarak, konflik, dan mungkin
perpisahan. Berangsur-angsur memudar kejernihannya namun dengan begitulah ia
akan mendewasa dan menjadi kuat. Walau begitu, ia tetap mengalir, tetap
mengikuti alurnya yaitu batasan-batasan yang menjaga kasih itu tetap pada
tujuannya. Pada ujung perjalanannya, kasih pun bermuara ke tempat berkumpulnya
para pejuang kasih, yaitu mereka yang juga telah melewati tempaan dan ujian.
Tempat yang luas dan dalam. Membaur dan berbagi hingga tiba waktunya mereka
menyebar kasih ke muka bumi dan mengembalikan segala kasih kepada Pemiliknya,
tempat asal kasih yang murni.
(SAAT KEJADIAN, DAM, halaman 53)
Saat
kejadian;
Adam
sendiri di bawah pohon kuldi
Jakunnya
naikturun sendiri
Mengunyah
sepi
Lalu
“Kun”
Hawa
menemani
Merajut
kesetiaan purbani
KUN
Monyetmonyet
bergelantungan di dahan
Berkembang
biak melahirkan darwin
Mereka
berkawan dan kawin
Lahirlah
evolusi sejarah
Menghilangnya
ekor demi ekor
Melupa
dalil dan dogma
:
Ada
cinta di mesjid
Ada
sapa di gereja
Ada
makna di vihara
Ada
kata di pundipundi
Jadilah puisi
Bengkel
Puisi Swadaya Mandiri, 2010-2014
Bukan hal yang mudah untuk memiliki kasih.
Orang-orang bisa dengan mudah berucap kasih namun pada prakteknya tak sembarang
orang mampu memikul tanggung jawab dari kasih itu sendiri. Kasih tak hanya
penerimaan, kasih adalah tanggung jawab. Jika berbicara tentang kasih yang
sesungguhnya kita sedang berbicara tentang komitmen. Oleh sebab itu, hanya
orang dewasa dan kuat lah yang diamanatkan untuk memilikinya. Bukan kasih
apabila dibarengi dengan kata “karena” kecuali nama Tuhan yang mengikutinya.
(MELEWATI, RB, halaman 66)
Senja
tak pernah menungguku
dia
pergi tanpa kusapa : sepi menari
sendiri
Tak
perlu kumenunggu senja
gerbong-gerbong
kereta
melewati
rel-rel : sepi
sendiri
Nopember,
2014
Puisi
singkat di atas menceritakan kehampaan dan penderitaan hati seorang manusia
yang tak memiliki tempat melabuhkan kasih, sehingga ia hidup dalam sepi sampai
ujung usianya. Sementara “gerbong-gerbong kereta” terus lalu lalang
melewatinya, ia tetap sendiri dalam sepi. Betapa hidup sendiri adalah menentang
kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang butuh memberi dan menerima kasih.
Kasih
merupakan topik yang tak pernah bosan-bosannya dibahas. Beberapa orang
menganggap kasih sebaiknya disimpan di dalam hati, menjadikannya tetap suci
dengan hanya kita dan Tuhan yang tahu. Mungkin hal ini ada benarnya dengan
mengacu pada kemurnian kasih tersebut. Kasih berasal dari Tuhan dan akan
kembali pada-Nya. Perasaan apapun bentuknya merupakan anugerah. Perasaan tak
seharusnya dibiarkan berserak dan berceceran sehingga menjadikannya murah dan
kotor.
Puisi adalah media
kreatif untuk menuangkan perasaan individu. Selain itu puisi juga merupakan
curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke dalam keadaan hatinya. Melalui
metafora dan pemilihan diksi yang tepat, perasaan manusia menjadi indah,
bernilai tinggi dan tetap suci walau telah di-publish dan menjadi milik pembaca. Secara psikologis, puisi
merupakan media katarsis dimana penyair memperoleh kelegaan jiwa setelah
merampungkan tulisannya. Dengan begitu, penyair dapat terhindar dari masalah
psikologis akibat perasaan yang lama terpendam. Ya, perasaan apabila tidak
disalurkan dapat menjadi penyakit. Dengan kata lain, puisi merupakan media
mengungkapkan perasaan manusia yang tidak hanya menjadikan perasaan manusia
“mahal” namun juga punya efek menyehatkan.
Buku
ini merupakan antologi (kumpulan) puisi tiga orang penyair dari latar belakang
yang berbeda-beda yang pada akhirnya dipertemukan oleh puisi. Yosy Kasih Azalia
(YKA), seorang ibu rumah tangga yang menyukai dunia puisi dan telah banyak
menghasilkan karya yang terangkum dalam dua buku puisi. Selain itu, ibu dua
anak ini memiliki blog pribadi yang
penuh dengan puisi bertema cinta. Dunia maya telah menjadi sahabat karibnya
dalam mengisi hari-hari sebagai ibu rumah tangga. Pada antologi ini, YKA banyak
mengusung tema rindu. Melalui puisi-puisinya, ia membawa para pembaca memahami
kemurnian perasaannya dan betapa sensitifnya hati seorang perempuan. Beberapa
puisinya dalam buku ini memiliki kekayaan diksi dan makna yang mendalam
mengenai cinta, rindu, penantian dan ketabahan seorang perempuan juga seorang
hamba Tuhan.
(KISAH KASIH, YKA, hal 178)
Sepiku(l)
sepi(sau) sepi nian atmaku mencumbui bebayang mimpi
Memikul
beban, sendiri meraba sunyi
Hampaku
selengang nian menikam nyeri menelan keinginan
Menanti
hujan bersenggama gersang hati
Bekuku,
sepucat rendaman salju halwaku sendiri tertidur dalam
Gigil
lena memilin imajinasi terjerit puas sececap pejam netra
Ah,
gairah nan malang setengah pasang setengah surut lepas
Tangkap naluriku melunjak
tersadar lelah dipermainkan ombak
YsJambi, 240914
(PELANA DUNIA, YKA, hal 168)
Doa-doaku
saling memekik berebut tinta
Katanya;
mereka ingin memuisikan apa yang ada di rerongga dada;
Nama-Mu,
Tuhan
Kala mentari pagi kian rekah,
apapun tak ada yang kuketahui tentang takdir, selain menyambut hari dengan
pasrah dan mencintai-Mu, tanpa lelah
Di lingkar langit lazuardi,
kutulis gurat-gurat doa yang ditadaruskan pagi, pun mentari ikut-ikut
menuntaskannya
dengan senyum asa penuh arti
Kepada
doaku, anak camar berbisik; di pelana dunia yang hingar nan hambar ini
Kau harus belajar sabar, doaku
mengangguk pasrah. tabah. rebah.
Yskasih,
011014
Rahma
Bachmid (RB) telah menjadi seorang single
parent dari tiga orang putri sejak sepuluh tahun yang lalu. Perempuan yang
akrab dipanggil Ra ini menilai sastra sebagai dunia yang hangat dan bersahabat. RB telah mulai berkarya sejak
SMP dengan menulis puisi dan mengirimkannya ke media massa. Beberapa karyanya
telah terbit di koran daerah dan majalah. Pada buku ini, RB dengan syahdu
mengungkapkan perasaannya melalui puisi-puisi yang mencerminkan kerasnya hidup
yang dialaminya. Puisi-puisinya bernuansa sendu dan banyak menggambarkan
tentang perjuangan hidup, kerinduan, kehilangan, harapan hingga kepasrahan
kepada Sang Pencipta. Beberapa puisi RB di dalam buku ini merupakan puisi
singkat namun tetap mampu merepresentasikan kehidupan seorang RB.
(Kemelut Kehidupan, RB, hal 76)
Kuajak
seisi semesta berbaring,
Ladang
masing mengering
Badai datang menerjang
Oktober, 2014
(Kekasih,
RB, hal 92)
Suaraku
tertahan di sebatang ranting yang kering
Menusuki
jemari-jemariku yang kaku menggigil
Muara
kasihku tertinggal di tulang yang pecah berbaring
Kekasih,
ke mana tulang rusukmu, di sandaranku yang patah
Memujamu, berlalu menerpa dahan-dahanku
yang basah
Nopember, 2014
(Hujan Belum Juga Pergi, RB, hal 93)
Hujan
tak kan pernah pergi
Ia
masih di sini setia
Mencumbu
debu-debu, menguap basah di tanah-tanah kering yang bisu
Meneriakkan
kegundahan dalam dingin berembun
Setia
menemani dini hari yang sepi
Hujan
belum juga pergi
Masih
setia menunggu
Hujan
dan hujan lagi
Masih setia menemani
Nopember, 2014
(Mencari,
RB, hal 100)
Sayatan
ini mengelupas nadiku, kutahu kamu ada tuhan
Benturan
ini memanggang perutku, kutahu kamu ada tuhan
Tumpukan-tumpukan
menjerat menggunung, kutahu kamu ada tuhan
Semua
jelas penglihatan-Mu,
Dan
penglihatanku buta
Mencari ke mana-mana
2014
Terakhir,
penyair utama dalam antologi ini adalah Dimas Arika Mihardja (DAM). Pemilik
nama asli Sudaryono ini adalah seorang penyair, akademisi dan penyuka budaya yang
berdomisili di Jambi. Hasil karya beliau meliputi puisi, cerpen, novel, esai,
kritik sastra dan kajian sastra. Tulisan-tulisannya telah diterbitkan di media
massa lokal dan di antologi tunggal maupun antologi bersama nasional maupun
internasional, sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Sebagai seorang Guru Besar,
Prof. DAM (begitu panggilan akrabnya) tidak hanya menjadi dosen di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Jambi, namun juga aktif berkarya dan
mengajar di ranah informal. Puisi 2koma7 dan Taman Puisi dan Laman Bunga Hati
adalah tempatnya berkarya dan mengajar di media sosial. Selain itu, ada pula Bengkel
Puisi Swadaya Mandiri (BPSM) yang merupakan sebuah sanggar penulisan puisi
kreatif yang beliau dirikan dan masih aktif hingga sekarang. BPSM secara langsung atau tidak langsung memfasilitasi dunia literasi demi
kemajuan dunia perpuisian di Indonesia, termasuk ke kancah manca negara. Beliau paham betul betapa gelar
kehormatan yang disematkan di depan namanya tersebut tak lain adalah tanggung
jawab yang luar biasa besar bagi bidang pendidikan. Konsistensinya dalam
berkarya merupakan bukti kasihnya pada dunia pendidikan dan kepenulisan. Meski telah
melampaui usia setengah abad dan memperoleh gelar tertinggi dalam dunia
pendidikan formal, beliau menegaskan bahwa dirinya masih tetap belajar. Beliau
yakin bahwa pada hakikatnya belajar adalah seumur hidup. Kerendahan hati
seorang Prof. DAM inilah yang membuatnya dikasihi oleh mahasiswa-mahasiswanya
dan orang-orang yang mengenalnya (baik secara personal maupun melalui
karya-karyanya). Saya selalu mengingat nasehat yang beliau katakan ketika
berdialog di media sosial bahwa walaupun teori tidak selalu sejalan dengan
praktek, kita tetap harus berpegang teguh pada keyakinan agama, pengetahuan
moral dan etika. Dengan begitu kita bisa membentengi diri dari pengaruh buruk
perkembangan zaman. Beliau juga menegaskan bahwa ilmu itu sebagai pemandu
langkah dan perilaku.
Sesuai
dengan judulnya, Rendezvous di
Muara Kasih, saya yakin buku ini dapat menjadi tempat berkumpulnya orang-orang
terpilih yang dianugerahkan kasih oleh Sang Maha Kasih yang mampu menyebar
kasih ke seluruh dunia.
Bandung, April 2015
(Memenangkan lomba resensi yang diadakan oleh penulis buku dan dibukukan dalam (R)ESENSI SASTRA, 2015)