MoU TBSU Tidak Sekedar Dikawal
Oleh:
Devira
Menanggapi tulisan
Afrion, Analisa, 18 Januari 2015 bertajuk, Seniman Sumut Kawal MoU TBSU.
Semestinya tidak hanya sekedar dikawal, tetapi harus ditindaklanjuti dengan
bentuk perjanjian yang mengikat. Dalam
hal ini, kesepahaman Gubernur Provinsi Sumatera Utara dan Walikota Medan
sebenarnya harus dicermati juga memiliki kelemahan.
Dalam tulisannya,
Afrion menguraikan bentuk kerjasama yang akan ditandatangani Gubsu dan Walikota
Medan dalam MoU, yaitu : (1) Taman Budaya Sumatera Utara tetap berada di Jalan
Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. (2) Menjadikan Taman Budaya Sumatera Utara
sebagai pusat keilmuan, pembinaan, pengembangan kesenian dan kebudayaan. (3)
Sebagai ruang rekreasi publik yang terbuka luas dan dapat diakses oleh seluruh
masyarakat.
Diharapkan juga agar Pemko
Medan membatalkan rencana pembangunan gedung kantor Dinas kebudayaan dan
Pariwisata Kota Medan di lahan TBSU. Selain akan merubah peruntukan dan
mengalihfungsikan lahan sebagai ruang perkantoran, juga akan merusak fungsi dan
tata ruang TBSU sebagai area terbuka publik yang terbebas dari ikatan jam
dinas.
Kata MoU tidak asing
lagi di telinga kita. MoU sering menjadi dasar bagi suatu kerjasama dua pihak.
Tapi apakah sebenarnya tujuan dan/atau kegunaan MoU tidak banyak yang memahami.
MoU berasal dari kata Memorandum of
Understanding. Dalam Black Law
dictionary memorandum didefinisikan sebagai “a brief written statement outlining the terms of agreement or
transaction” yang dapat diterjemahkan sebagai sebuah ringkasan pernyataan
tertulis yang menguraikan persyaratan sebuah perjanjian atau transaksi.
Sedangkan understanding adalah sebuah perjanjian
yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya; atau
pengikat kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau
persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan
hasil persetujuan atau kesepahaman pemikiran dari para pihak yang dikehendaki
oleh keduanya untuk mengikat.
Menurut Dr. Munir Fuady,
SH, MH, LL.M, seorang advokat senior dan konsultan hukum, MoU dapat memiliki
dasar hukum yang mengikat jika adanya unsur perjanjian pendahuluan yang nanti akan
dijabarkan dan diuraikan dalam nota perjanjian kerjasama, yang memuat aturan dan persyaratan secara lebih
detail. Sedang Prof. Erman Radjaguguk, SH; LL.M; Ph.D, menyatakan MoU sebagai
dokumen kesepahaman hanya didasarkan pada
ikatan saling percaya para pihak
sebelum dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama yang formal dan mengikat antara
kedua belah pihak.
Bagaimana MoU dapat
memiliki kekuatan hukum yang mengikat? Apakah MoU mempunyai daya paksa untuk
dilaksanakan bagi para pihak? Tentang hal ini ada dua pendapat. Pertama,
pendapat yang menyatakan bahwa MoU memiliki kekuatan mengikat dan memaksa, sama
halnya dengan perjanjian itu sendiri. Menurut pasal 1338 KUHPerdata, setiap perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.
Dengan kata lain jika
MoU itu telah dibuat secara sah, memenuhi persyaratan sah perjanjian
sebagaimana disebut dalam pasal 1320, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU
bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai
kekuatan mengikat dan memaksa.
Kedua, pendapat yang
menyatakan – dengan menitikberatkan MoU sebagai sebuah perjanjian pendahuluan –
sebagai bukti awal suatu kesepakatan yang memuat hal-hal pokok, serta yang
harus diikuti oleh perjanjian lain, maka walaupun pengaturan MoU tunduk pada
ketentuan perikatan dalam KUHPerdata, kekuatan mengikat MoU hanya sebatas moral
saja. Dengan kata lain MoU ini hanyalah kesepahaman saja.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa dokumen MoU bukan merupakan dokumen yang mengikat para
pihak. Kesepahaman dalam MoU hanya bersifat moral. Agar mengikat secara hukum
harus memuat perjanjian antara kedua belah pihak yang kemudian dapat
ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama atau membuat MoU yang berbentuk
perjanjian resmi. Ikatan yang terjadi tidak hanya bersifat moral, tetapi juga
hukum.
Dengan demikian, maka seniman
tidak hanya mengawal pelaksanaan Nota kesepahaman, tetapi juga harus mendesak
Gubernur Sumatera Utara dan Walikota Medan membuat perjanjian kerjasama sesuai
dengan apa yang disepakati dalam nota kesepahaman. Setelah itu harus didesak
juga, agar menerbitkan peraturan Gubernur (Pergub) dsan Peraturan Walikota
(Perwal) sehingga akhirnya dari peraturan-peraturan tersebut menjadi dasar
diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda).
Peraturan Daerah (Perda)
kemudian diarsipkan dalam dokumen negara. Dengan begitu, maka penyelenggaraan
pemerintah daerah tidak bisa sewenang-wenang melanggar atau menghapus hasil kesepahaman
yang tertera di dalamnya.
Seperti yang
diungkapkan Afrion, bahwa pengalaman terdahulu dimana ganti pemerintahan, akan
ganti kebijakan dan keputusan jangan sampai terjadi lagi. Bila ganti Gubernur
dan Walikota, maka MoU serta perjanjian kerjasama ini tidak akan ada
apa-apanya. Tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
Maka MoU yang akan
diterbitkan haruslah MoU yang memiliki dasar yang mengikat, bukan hanya secara
moral melainkan juga secara hukum.
Medan,
Januari 2015
Penulis adalah alumni Universitas Sumatera Utara
(telah terbit di Rebana Analisa Minggu, 01 Februari 2015)