Senin, 09 Juli 2018

IF IT DOESN'T BREAK YOUR HEART, THEN IT ISN'T LOVE

Konon katanya, resiko dari cinta adalah kehilangan dan harga dari kehilangan adalah kesedihan mendalam. Sepertinya memang begitu. Berdasarkan Holmes and Rahe Social Readjustment Rating Scale (dalam Nolen-Hoeksema, 2009), kehilangan pasangan hidup (terutama karena kematian) berada pada posisi tertinggi dari pengalaman paling membuat stres dalam kehidupan seseorang. Well, if it doesn't break your heart, then it isn't love.
.
.
Saya ingat, tahun lalu, saat saya hendak pulang ke Jakarta. Di stasiun Bandung saya menunggu jadwal keberangkatan kereta api di ruang tunggu, setelah mencetak tiket. Saat itu masih ada 30 menit lagi untuk keberangkatan.
Di bangku seberang kanan saya ada seorang bapak paruh baya yang duduk dalam diam. Ekspresi wajahnya tenang sekali, namun raut mukanya terlihat letih (dan sedih). Wajahnya yang bersih terlihat pucat. Matanya yang sayu terlihat menghitam dan berkantung tebal. Di tangan kanannya ia memegang tasbih, seperti berzikir di dalam hati (atau sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri) karena bibirnya sama sekali tidak bergerak. Posisi duduknya tidak menyandar. Matanya menatap ke bawah sesekali berkedip. Beberapa kali ia menghela napas dalam.
Ada seorang anak perempuan sekitar 6 atau 7 tahun berlari menabrak kaki saya. Hampir saja jatuh terjerembab kalau saya tidak menangkapnya. Kemudian si bapak memanggil namanya dan memintanya jangan lari-lari. Anaknya si bapak, pikir saya.
Lalu ada perempuan paruh baya yang duduk di sebelah kiri saya memanggil nama anak kecil tersebut dan menyuruhnya duduk di bangku kosong sebelahnya. Perempuan tersebut pastilah ibunya, pikir saya. Perempuan tersebut tersenyum ramah pada saya. Kemudian kami mengobrol dan saya mengetahui bahwa ia adalah adik si bapak yang duduk di bangku seberang kanan saya. Dan anak perempuan tersebut adalah anaknya. Berarti si bapak bukan ayah si anak kecil melainkan pamannya. Saat saya menoleh ke arah kanan saya, si bapak ternyata sudah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju sebuah market di sana. Si ibu bercerita bahwa baru-baru ini istri si bapak telah meninggal dunia setelah hampir 10 tahun hidup dengan kanker. Mereka sudah berikhtiar kemana-mana dan si bapak senantiasa berusaha agar istrinya tetap sehat dan bahagia. Mereka baru saja kembali dari pemakaman si istri di Padalarang. Saat ini ia mengantarkan si bapak untuk kembali ke rumah dan kantornya di Jakarta. Seorang anak si bapak yang sudah SMA sudah lebih dahulu pulang ke Jakarta karena ada ujian.
Beberapa saat kami mengobrol, si bapak datang menghampiri kami sambil menyodorkan dua teh kotak kepada kami. Si bapak pun kembali ke tempat duduknya setelah tersenyum tanpa kata. Ia kembali duduk dengan posisi yang sama, kegiatan yang sama, dan ekspresi yang sama. Perempuan paruh baya itu juga memperhatikannya dan berkata pada saya bahwa keadaan si bapak yang seperti itu lah membuatnya memaksa untuk ikut ke Jakarta. Reaksi si bapak yang tenang dan diam itu membuatnya khawatir karena menurutnya akan lebih baik jika si bapak menangis atau marah-marah.
Saya naik kereta Argoparahyangan itu menuju Jakarta. Ternyata saya naik kereta yang sama di gerbong yang sama dengan mereka. Awalnya saya tidak menyadarinya karena mereka naik kereta lebih dulu dari saya. Sembari berjalan ke depan ke arah tempat duduk saya, saya melihat si bapak yang duduk melihat keluar jendela dalam diam dengan ekspresi yang sama dengan saat di ruang tunggu stasiun.
"If you ever loved somebody put your hands up.
Now they're gone and you wishin’ that you could give them everything." (Just a Dream)
Setiap saya mendengar lagu ini saya jadi teringat dengan si bapak. Saya tidak tahu dengan pasti apa yang ada dalam pikiran si bapak. Mengenang, menyesali, menyalahkan diri sendiri, pasrah atau gabungan dari semuanya. Mungkin kurang pas, namun saya menghayati kondisi si bapak kurang lebih seperti lagu ini. 
.
.
.
Referensi : Nolen-Hoeksema, S., Fredrickson, B. L., Loftus, G. R., & Wagenaar, W. A. (2009). Atkinson & Hilgard's Introduction to Psychology (15th ed.). Andover, Hampshire: Cengage Learning EMEA