Selasa, 25 Desember 2018

Graduation #4


Pada suatu siang yang cerah, beberapa tahun yang lalu. Hari dimana kita untuk pertama kalinya memakai toga hitam ungu itu. Setelah struggle dengan skripsi, kita claim diri kita sebagai "Orang Klinis".

GRADUATION

Suka cita bahagia menjalani beberapa prosesi. Setelahnya, kita langsung memasuki kehidupan nyata yang sangat jauh berbeda dengan obrolan-obrolan seru kita yang penuh tawa. Ingatkah kamu bagaimana mimpi-mimpi kita diombang-ambing arus dan aral? Kita pun mulai mempertanyakan diri kita, mimpi-mimpi kita, dan apa saja yang telah kita usahakan. Hingga akhirnya di satu titik kita pun berpisah, menjalani hidup kita masing-masing yang berbeda dari keinginan kita. Kemudian aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah profesi Klinis di Bandung. Tak lama setelahnya kamu melanjutkan sekolah Bisnis di Belanda. Melukis memori-memori baru, pengalaman hidup baru yang akan kita ceritakan di masa depan. Kini kita sama-sama telah menyelesaikan satu tugas kita. Begitu banyak hal yang berbeda dari rencana, namun alhamdulillah semua terjalani dan syarat akan makna.
.
That's life, Gal. Like a box of chocolate, we never know what we're gonna get. Just try to be thankful for what we have and enjoy every moment. Because life will never be the same each time, so do we. Yes, everything is changing. Only maturity heals, you said. When i look at this photo, i find ourselves there in the past, we were so young and free. And I am so blessed.
.
Then we meet again and look back a few years ago. We laugh at the memories about the tears we shed, the stupidness we made, the pain that we thought would never be erased, and the joy we wished last forever. Yes, we did it. It's all done well. We are growing and get mature.
.
Then, the question is "what next?" I wonder what will we become in next ten years or twenty years (so on)? What kind of dreams are we going to tell? What kind of unpredictable life we will overcome? How much obstacles we will conquer?
.
We'll see.
.
Now, let's make lots of new memories. So when we meet again we can continue to laugh together. Hope we never forget what happiness is ☺
.
With canmaw Riris Hutajulu ^_^



Rabu, 19 Desember 2018

GRADUATION #3 : THE LAST DAY


The Last Day



Saya punya kebiasaan. Setiap datang ke suatu tempat baru maka saya akan jalan-jalan mengelilingi tempat tersebut untuk menemukan spot-spot terbaik dan menarik (versi saya). Begitu pula saat hendak meninggalkan tempat tersebut. Biasanya saya akan kembali mengelilingi tempat tersebut untuk sekedar mengenang setiap momen selama di sana, serta memetakan seluruh lokasi, aroma dan suasananya dalam ingatan saya. Akan ada masa dimana saya akan mengenangnya kembali.

2015 adalah pertama kali saya datang ke kampus berbukit ini. Dari seluruh kampus tempat yang paling saya sukai adalah halaman rektorat. Kenapa? Karena di kampus ini, di sini lah paling banyak saya temui bunga-bunga cantik. Berhubung saya punya hobi hunting bunga-bunga dan mencari cerita menarik tentangnya. Spot favorit saya adalah halaman sebelah kanan parkiran di bawah pohon-pohon rindang dan di sepanjang kanopi yang berhiaskan beragam vine flower. Dulu, hampir setiap hari minggu subuh menjelang pagi saya jalan keliling kampus saya akan mampir ke sini. Kadang di hari biasa saya juga ke sana untuk menulis atau menggambar atau sekedar menikmati suasana saja atau menenangkan pikiran. Kalau sedang hujan, saya duduk di tangga samping sambil menerka-nerka bagaimana proses mengukir tanaman menjadi lambang kampus di situ (sekarang sudah tidak ada lagi). Kemudian jadi lebih sering ke sini seiring banyaknya urusan dengan Beliau-Yang-Very-Very-Busy. Ntah lah sepertinya bunga-bunga jauh lebih asri di tahun awal daripada tahun terakhir. Mungkin cuma perasaan saya saja.

Hari terakhir. Setelah segala urusan selesai, saya berkeliling seperti kebiasaan saya. Memastikan tidak ada yang luput dari perhatian dan semua terekam di ingatan saya. Lalu saya sempatkan untuk mengambil foto di lobi depan. Mungkin suatu saat nanti saya akan datang lagi, mungkin juga tidak. Sungguh saya tidak tahu menahu apa yang akan terjadi masa depan. Namun jika langit telah menuliskan kisahnya, semoga saat itu ada/tiadanya cirrus maupun cumulus tak lagi menjadi persoalan.

***

Devira
Catatan Desember 2018

Kamis, 13 Desember 2018

GRADUATION #2 : The Gift


Dear, big brother

my Virgo,
my Alpha,
my first love ❤
Orang yang paling tahan mendengarkan ocehan receh dan irrational belief-ku. Yang katanya (info dari orang lain) selalu pusing memikirkan adekmu satu-satunya ini - si manja, keras kepala, payah diatur, banyak maunya, gak maunya juga banyak. Kulihat dahimu yang semakin berkerut, pastinya sekarang semakin banyak yang dipikirkan ya.

Kamu selalu bilang, dalam hidup badai pasti akan datang dan ia pun pasti akan berlalu. Karenanya kamu selalu menjaga agar aku tak perlu merasakan terpaannya, sembari mengingatkanku untuk tetap bersabar dan bersyukur. Tapi aku yakin setiap manusia dibekali Tuhan kemampuan untuk menghadapi masalah. Semua bisa dipelajari. Kenapa kita tidak belajar menari dan tertawa saja di tengah badai? Toh badai tetap akan datang juga. Kita cari cara untuk tetap dapat menikmatinya. Kita, ya kita. Bersama-sama. Jadi tak perlulah semua kamu yang pikirkan sendiri.  Menurutku begitu (Devi itu selalu punya argumen dan kata "iya" nya mahal kali, ya kan 😁).

Aku memang tidak paham kerasnya hidup. Aku juga tak pernah tahu seberapa banyak dan dalam luka di hatimu. Kamu tak pernah berkeluh kesah padaku. Responmu hanya sekitaran "iya", "tidak" dan diam. Katamu, hal pertama yang harus dipertanggungjawabkan laki-laki adalah kata-katanya. Maka diammu adalah tanda agar aku menunggu. Dan laki-laki sejati tak akan membuatku kecewa, just like you do.

Aku masih ingat ekspresi wajahmu saat aku bilang mau merantau. Setiap aku menangis kamu pasti bilang, "udah, pulang aja." But i am pretty stubborn. I flew to the moon then fell to the hell, and see, I always come back. Dan janjipun terpenuhi, walau sedikit keluar dari rencana awal.

Tesis ini adalah salah satu karya terbaikku, khusus aku dedikasikan untukmu. Sekarang aku siap untuk misi dan perjalanan selanjutnya. Jangan khawatir, aku selalu ingat semua yang pernah kamu ajarkan padaku ✌
.
.
PS : You'll never walk alone. So do I. 👣


Adindamu,
Devira
Desember 2018

Sabtu, 17 November 2018

PUISI : Eccedentesiast


Eccedentesiast


Duhai langitku,
Apa kabarmu?
Lama ku tak lagi merasakanmu
Apa kau masih di sana?
Sudah berapa lama kita tak lagi bercengkrama.
Ataukah aku yang menjauh?
Hah, kemanakah aku hendak pergi, jika hadirmu selalu ada di setiap langkahku?

Akhir-akhir ini aku pun tak begitu suka keteduhan gerimismu apalagi hujanmu.
Ntah lah kenapa.
Mungkin karna tak ada lagi rindu yang dapat kubisikan padamu
Tak ada lagi amarah yang ingin kuteriakkan padamu.

Apa karna itu kau terus menangis?
Merindukanku?
Atau kau ingin meluruhkan habis semua rasa itu sampai tak bersisa?
Aku manusia biasa,
Aku tak ingin seperti itu.

Sungguh aku tak lagi memahamimu.
Namun kau sudah terlalu dalam masuk ke hatiku.
Tak mungkin ada cara mengeluarkanmu dari sana.
Aku yakin kau tau ini pasti akan terjadi.
Jadi kuterima saja kau sebagaimana adanya.
Dan aku tak butuh penjelasan apa-apa.



Devira
Nov 2018

Senin, 09 Juli 2018

IF IT DOESN'T BREAK YOUR HEART, THEN IT ISN'T LOVE

Konon katanya, resiko dari cinta adalah kehilangan dan harga dari kehilangan adalah kesedihan mendalam. Sepertinya memang begitu. Berdasarkan Holmes and Rahe Social Readjustment Rating Scale (dalam Nolen-Hoeksema, 2009), kehilangan pasangan hidup (terutama karena kematian) berada pada posisi tertinggi dari pengalaman paling membuat stres dalam kehidupan seseorang. Well, if it doesn't break your heart, then it isn't love.
.
.
Saya ingat, tahun lalu, saat saya hendak pulang ke Jakarta. Di stasiun Bandung saya menunggu jadwal keberangkatan kereta api di ruang tunggu, setelah mencetak tiket. Saat itu masih ada 30 menit lagi untuk keberangkatan.
Di bangku seberang kanan saya ada seorang bapak paruh baya yang duduk dalam diam. Ekspresi wajahnya tenang sekali, namun raut mukanya terlihat letih (dan sedih). Wajahnya yang bersih terlihat pucat. Matanya yang sayu terlihat menghitam dan berkantung tebal. Di tangan kanannya ia memegang tasbih, seperti berzikir di dalam hati (atau sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri) karena bibirnya sama sekali tidak bergerak. Posisi duduknya tidak menyandar. Matanya menatap ke bawah sesekali berkedip. Beberapa kali ia menghela napas dalam.
Ada seorang anak perempuan sekitar 6 atau 7 tahun berlari menabrak kaki saya. Hampir saja jatuh terjerembab kalau saya tidak menangkapnya. Kemudian si bapak memanggil namanya dan memintanya jangan lari-lari. Anaknya si bapak, pikir saya.
Lalu ada perempuan paruh baya yang duduk di sebelah kiri saya memanggil nama anak kecil tersebut dan menyuruhnya duduk di bangku kosong sebelahnya. Perempuan tersebut pastilah ibunya, pikir saya. Perempuan tersebut tersenyum ramah pada saya. Kemudian kami mengobrol dan saya mengetahui bahwa ia adalah adik si bapak yang duduk di bangku seberang kanan saya. Dan anak perempuan tersebut adalah anaknya. Berarti si bapak bukan ayah si anak kecil melainkan pamannya. Saat saya menoleh ke arah kanan saya, si bapak ternyata sudah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju sebuah market di sana. Si ibu bercerita bahwa baru-baru ini istri si bapak telah meninggal dunia setelah hampir 10 tahun hidup dengan kanker. Mereka sudah berikhtiar kemana-mana dan si bapak senantiasa berusaha agar istrinya tetap sehat dan bahagia. Mereka baru saja kembali dari pemakaman si istri di Padalarang. Saat ini ia mengantarkan si bapak untuk kembali ke rumah dan kantornya di Jakarta. Seorang anak si bapak yang sudah SMA sudah lebih dahulu pulang ke Jakarta karena ada ujian.
Beberapa saat kami mengobrol, si bapak datang menghampiri kami sambil menyodorkan dua teh kotak kepada kami. Si bapak pun kembali ke tempat duduknya setelah tersenyum tanpa kata. Ia kembali duduk dengan posisi yang sama, kegiatan yang sama, dan ekspresi yang sama. Perempuan paruh baya itu juga memperhatikannya dan berkata pada saya bahwa keadaan si bapak yang seperti itu lah membuatnya memaksa untuk ikut ke Jakarta. Reaksi si bapak yang tenang dan diam itu membuatnya khawatir karena menurutnya akan lebih baik jika si bapak menangis atau marah-marah.
Saya naik kereta Argoparahyangan itu menuju Jakarta. Ternyata saya naik kereta yang sama di gerbong yang sama dengan mereka. Awalnya saya tidak menyadarinya karena mereka naik kereta lebih dulu dari saya. Sembari berjalan ke depan ke arah tempat duduk saya, saya melihat si bapak yang duduk melihat keluar jendela dalam diam dengan ekspresi yang sama dengan saat di ruang tunggu stasiun.
"If you ever loved somebody put your hands up.
Now they're gone and you wishin’ that you could give them everything." (Just a Dream)
Setiap saya mendengar lagu ini saya jadi teringat dengan si bapak. Saya tidak tahu dengan pasti apa yang ada dalam pikiran si bapak. Mengenang, menyesali, menyalahkan diri sendiri, pasrah atau gabungan dari semuanya. Mungkin kurang pas, namun saya menghayati kondisi si bapak kurang lebih seperti lagu ini. 
.
.
.
Referensi : Nolen-Hoeksema, S., Fredrickson, B. L., Loftus, G. R., & Wagenaar, W. A. (2009). Atkinson & Hilgard's Introduction to Psychology (15th ed.). Andover, Hampshire: Cengage Learning EMEA





Kamis, 10 Mei 2018

COUNTERTRANSFERENCE


Ada yang bertanya, kenapa beberapa waktu belakangan saya menjadi lebih sensitif dan lebih mellow. Saya pun sadar, itu memang benar.

Saat ini saya sedang menyelesaikan penelitian intervensi terhadap wanita penderita kanker payudara. Oleh karenanya, saya banyak membaca buku dan menonton film bertemakan terminal illness guna mendapatkan penghayatan. Apalagi berhadapan langsung dengan pasien terminal illness di rumah sakit, tentu bukan hal yang mudah. Momen paling berat yang saya rasakan adalah saat salah seorang partisipan penelitian saya meninggal dunia di tengah proses penelitian. Hal tersebut memberikan pengaruh emosional dalam diri saya. Karena mendapatkan kabar duka cita, karena sehari sebelumnya kondisi pasien terlihat lebih sehat dari hari-hari sebelumnya, karena harus mencari partisipan baru dan mengulang proses.

Saat itu yang saya rasakan adalah kesedihan mendalam, entah kenapa. Rasanya saya tidak mungkin mampu melanjutkan penelitian ini. Besoknya, gantian saya yang menjadi pasien. Dokter mengatakan saya mengalami stres fisik dan mental sehingga imun tubuh saya drop. Akibatnya, timbul reaksi alergi dan infeksi di beberapa bagian tubuh saya.

Ya, saya stres. Beberapa hari sebelumnya saya baru saja menyelesaikan pelaksanaan intervensi penelitian medis di Dinas Sosial Kota Bandung. Beberapa hari setelahnya saya akan menjalani ujian akhir keprofesian. Di sela-selanya ada 9 ringkasan laporan kasus, konsinyiran, amdat, dan lainnya. Dokter menyarankan saya untuk bedrest beberapa hari. Kemudian saya diberikan resep beberapa obat yang saya yakin mengandung obat tidur (hahhah). Karena setiap sehabis minum obat pasti tidur lamaaa.

Selama beberapa hari beristirahat, saya menyadari bahwa ada hal lain yang membuat keadaan ini menjadi sangat emosional. Saya terasosiasi dengan kejadian saat saya masih kecil, ketika ibu saya meninggal dunia di rumah sakit setelah sakit berkepanjangan. Dalam ilmu psikologi ini disebut 
countertransference, yaitu totalitas reaksi afektif dan perilaku baik sadar maupun tidak sadar yang dialami praktisi klinis kepada klien, termasuk reka ulang dan persepsi transferential. Countertransference mengacu pada pengalaman praktisi klinis yang berasosiasi dengan apa yang terjadi dalam hubungan terapeutik (Figley, 2012). Peristiwa yang terjadi pada partisipan penelitian saya memiliki kemiripan dengan peristiwa yang terjadi pada ibu saya di masa lalu. Hal tersebut memicu ingatan saya, bukan hanya tentang kejadiannya, tapi juga perasaan yang saya rasakan 20 tahun lalu. Fenomena ini sebenarnya wajar dan dapat terjadi pada siapa saja. Hanya saja karena saya sedang menangani kasus, tentu ada hal-hal yang perlu dibenahi karena dapat mempengaruhi perlakuan saya terhadap pasien saya. Resiko profesi.

H-1 ujian akhir keprofesian, obat saya habis. Kondisi saya sudah lebih stabil. Seharian saya memilih bersantai setelah menentukan kasus yang akan dipresentasikan. Hari H, ujian berjalan lancar dan menyenangkan. Revisi beres satu malam. Beberapa hari kemudian, saya menemukan pasien yang dapat dijadikan partisipan penelitian baru. Rasanya semua kembali normal. Mmm..tapi sepertinya sekarang kerjanya pelan-pelan saja.

Daaan seperti biasa, reaksi orang-orang yang mengenal saya, "kebiasaan kali gak cerita!" Ehhehe..Iya, kebiasaan. Jadi sekarang saya sudah cerita yaa... 
*jangandimarahin*




Sudah jadi psikolog pun tetap bisa kena isu mental health. Da saya mah hanya manusia biasa.
.
.
.
Referensi : Figley, Charles R. (2012). Encyclopedia of trauma. SAGE Publications, Inc. United States of America



Rabu, 28 Maret 2018

Esai : MoU TBSU Tidak Sekedar Dikawal

MoU TBSU Tidak Sekedar Dikawal

Oleh: Devira

Menanggapi tulisan Afrion, Analisa, 18 Januari 2015 bertajuk, Seniman Sumut Kawal MoU TBSU. Semestinya tidak hanya sekedar dikawal, tetapi harus ditindaklanjuti dengan bentuk perjanjian yang mengikat. Dalam hal ini, kesepahaman Gubernur Provinsi Sumatera Utara dan Walikota Medan sebenarnya harus dicermati juga memiliki kelemahan.
Dalam tulisannya, Afrion menguraikan bentuk kerjasama yang akan ditandatangani Gubsu dan Walikota Medan dalam MoU, yaitu : (1) Taman Budaya Sumatera Utara tetap berada di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. (2) Menjadikan Taman Budaya Sumatera Utara sebagai pusat keilmuan, pembinaan, pengembangan kesenian dan kebudayaan. (3) Sebagai ruang rekreasi publik yang terbuka luas dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
Diharapkan juga agar Pemko Medan membatalkan rencana pembangunan gedung kantor Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan di lahan TBSU. Selain akan merubah peruntukan dan mengalihfungsikan lahan sebagai ruang perkantoran, juga akan merusak fungsi dan tata ruang TBSU sebagai area terbuka publik  yang terbebas dari ikatan jam dinas.
Kata MoU tidak asing lagi di telinga kita. MoU sering menjadi dasar bagi suatu kerjasama dua pihak. Tapi apakah sebenarnya tujuan dan/atau kegunaan MoU tidak banyak yang memahami. MoU berasal dari kata Memorandum of Understanding. Dalam Black Law dictionary memorandum didefinisikan sebagai “a brief written statement outlining the terms of agreement or transaction” yang dapat diterjemahkan sebagai sebuah ringkasan pernyataan tertulis yang menguraikan persyaratan sebuah perjanjian atau transaksi.
Sedangkan understanding adalah sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya; atau pengikat kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil persetujuan atau kesepahaman pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya untuk mengikat.
Menurut Dr. Munir Fuady, SH, MH, LL.M, seorang advokat senior dan konsultan hukum, MoU dapat memiliki dasar hukum yang mengikat jika adanya unsur  perjanjian pendahuluan yang nanti akan dijabarkan dan diuraikan dalam nota perjanjian kerjasama, yang  memuat aturan dan persyaratan secara lebih detail. Sedang Prof. Erman Radjaguguk, SH; LL.M; Ph.D, menyatakan MoU sebagai dokumen kesepahaman hanya didasarkan pada  ikatan saling percaya  para pihak sebelum dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama yang formal dan mengikat antara kedua belah pihak.
Bagaimana MoU dapat memiliki kekuatan hukum yang mengikat? Apakah MoU mempunyai daya paksa untuk dilaksanakan bagi para pihak? Tentang hal ini ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa MoU memiliki kekuatan mengikat dan memaksa, sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Menurut pasal 1338 KUHPerdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.
Dengan kata lain jika MoU itu telah dibuat secara sah, memenuhi persyaratan sah perjanjian sebagaimana disebut dalam pasal 1320, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa.
Kedua, pendapat yang menyatakan – dengan menitikberatkan MoU sebagai sebuah perjanjian pendahuluan – sebagai bukti awal suatu kesepakatan yang memuat hal-hal pokok, serta yang harus diikuti oleh perjanjian lain, maka walaupun pengaturan MoU tunduk pada ketentuan perikatan dalam KUHPerdata, kekuatan mengikat MoU hanya sebatas moral saja. Dengan kata lain MoU ini hanyalah kesepahaman saja.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dokumen MoU bukan merupakan dokumen yang mengikat para pihak. Kesepahaman dalam MoU hanya bersifat moral. Agar mengikat secara hukum harus memuat perjanjian antara kedua belah pihak yang kemudian dapat ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama atau membuat MoU yang berbentuk perjanjian resmi. Ikatan yang terjadi tidak hanya bersifat moral, tetapi juga hukum.
Dengan demikian, maka seniman tidak hanya mengawal pelaksanaan Nota kesepahaman, tetapi juga harus mendesak Gubernur Sumatera Utara dan Walikota Medan membuat perjanjian kerjasama sesuai dengan apa yang disepakati dalam nota kesepahaman. Setelah itu harus didesak juga, agar menerbitkan peraturan Gubernur (Pergub) dsan Peraturan Walikota (Perwal) sehingga akhirnya dari peraturan-peraturan tersebut menjadi dasar diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda).
Peraturan Daerah (Perda) kemudian diarsipkan dalam dokumen negara. Dengan begitu, maka penyelenggaraan pemerintah daerah tidak bisa sewenang-wenang melanggar atau menghapus hasil kesepahaman yang tertera di dalamnya.
Seperti yang diungkapkan Afrion, bahwa pengalaman terdahulu dimana ganti pemerintahan, akan ganti kebijakan dan keputusan jangan sampai terjadi lagi. Bila ganti Gubernur dan Walikota, maka  MoU serta perjanjian kerjasama ini tidak akan ada apa-apanya. Tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
              Maka MoU yang akan diterbitkan haruslah MoU yang memiliki dasar yang mengikat, bukan hanya secara moral melainkan juga secara hukum.



Medan, Januari 2015
Penulis adalah alumni Universitas Sumatera Utara



(telah terbit di Rebana Analisa Minggu, 01 Februari 2015)




MANAJEMEN EMOSI BAGI PENYANDANG ASPERGER’S SYNDROME


Asperger’s Syndrome merupakan salah satu dari Autism Spectrum Disorders atau Pervasive Developmental Disorder (PDD). Sindrome ini pertama kali ditemukan oleh Hans Asperger, seorang psikiater dari Austria, pada tahun 1944. Penyandang Asperger’s Syndrome memiliki ciri-ciri yang hampir mirip dengan penyandang autisma, yaitu adanya masalah dalam interaksi sosial, dimana terdapat pola perilaku yang steriotipik, dan keterbatasan dalam aktivitas dan minat. Mereka memiliki minat yang rigid, social insensitivity, dan keterbatasan kemampuan untuk berempati terhadap orang lain. Namun, berbeda dengan autisma, pada Asperger tidak disertai keterlambatan perkembangan kognitif atau bahasa. Mereka mandiri, suka bersosialisasi, memiliki tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas rata-rata, dan memiliki kreatifitas yang tinggi sehingga banyak di antara mereka mampu memberikan kontribusi yang besar dalam bidang-bidang seperti seni, matematika dan komputer. Mereka cenderung hebat di bidang yang hanya sedikit memerlukan interaksi sosial.

Di balik kehebatan tersebut, mereka menemukan banyak kesulitan dalam menjalani kehidupan sosial akibat keterbatasan yang mereka miliki. Penyandang asperger pada umumnya mempunyai tingkat stres dan kecemasan yang tinggi. Hal-hal yang terlihat sepele seperti perubahan rute perjalanan, sentuhan dari orang yang tidak dikenal atau perhatian publik dapat membuat mereka merasakan ledakan emosi yang membuat mereka kehilangan kendali diri. Hal ini terutama terjadi karena mereka sendiri tidak mengenali perasaan apa yang sedang mereka rasakan. Menurut Benjamin Giraldo, Ps., M.Ed., dari 3 penyandang Asperger’s Syndrome, 2 diantaranya memiliki masalah dalam anger management. Kesedihan dan kecemasan sering mereka ekspresikan dengan kemarahan. Oleh karenanya, sangat penting bagi mereka mengenali dan kemudian menemukan cara memanage emosi mereka.

Untuk mengenali emosi, dapat digunakan Termometer Emosi. Terdapat termometer yang berbeda untuk emosi yang berbeda pula, misalnya : termometer kemarahan, termometer kecemasan, termometer kebahagiaan. Gambar/foto dan kata-kata diletakan di poin tertentu pada termometer.





          Setelah emosi dikenali, maka akan mudah untuk menemukan cara yang tepat untuk me-manage emosi. Ada beberapa cara yang sering digunakan penyandang asperger ketika berhadapan dengan situasi yang emosional, meliputi : berkelahi, menyendiri untuk waktu yang sangat lama, memarahi orang lain, menyakiti diri sendiri, berlaku kasar, menggunakan alkohol dan obat-obatan terlarang. Cara-cara tersebut tentunya tidak efektif karena malah membuat kerusakan pada diri sendiri dan orang lain.

Tony Attwood, seorang Psikolog anak, dalam bukunya The Complete Guide to Asperger's Syndrome, mengembangkan cara efektif bagi penyandang Asperger untuk memperbaiki emosi yang sedang labil. Ia menyebutnya dengan Emotional Toolbox”.
1.   Physical Activity tools, merupakan cara cepat untuk melepaskan energi-energi emosi yang berlebihan. Caranya antara lain dengan berjalan kaki, berlari, lompat trampolin, bersepeda, memukul punchbag dan lain-lain. Cara ini efektif terutama untuk level stres tinggi.
2.   Relaxation tools. Cara ini secara perlahan melepaskan energy emosional, yaitu dengan mendengarkan musik, menyendiri, pijat, menonton acara komedi, atau tidur. Cara ini paling efektif untuk tingkat stres rendah.
3.  Social tools, misalnya dengan menulis, berpuisi, menghabiskan waktu dengan keluarga, menolong orang lain, bertemu orang dengan masalah yang sama, konselor atau orang yang dianggap memahami isu Sindrom Asperger.
4.   Solitude. Penyandang asperger merasakan kelelahan secara emosi dan mental saat bersosialisasi. Oleh karena itu, untuk satu jam waktu bersosialisasi, mereka membutuhkan satu jam waktu menyendiri.
5.   Thought and perspective, yaitu dengan mengganti pemikiran-pemikiran seperti “aku bodoh dan aneh” dengan pemikiran “aku berpikir dengan cara yang berbeda dengan orang lain”
6.  Special interests, yaitu dengan melakukan satu kegiatan yang disukai. Hal ini dilakukan untuk menjaga kecemasan tetap dibawah kendali, menghambat pikiran negatif, relaksasi dan penyaluran hobi. Namun, apabila cara ini digunakan sebagai satu-satunya cara mengurangi kecemasan, maka kegiatan ini dapat menjadi Obsessive Compulsive Disorder (OCD).
7.  Sensory tools. Penyandang asperger biasanya memiliki masalah sensory, karenanya sensory tools dapat digunakan untuk merelaksasi sensory mereka yang sensitif. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain, relaksasi suara (mendengarkan musik kesukaan), relaksasi cahaya (menggunakan sun glasses, pengaturan cahaya ruangan), relaksasi aroma (menggunakan pewangi ruangan, aroma terapi), relaksasi tactile (menggunakan pakaian dengan tekstur yang disukai)
8.   Medication. Obat-obatan untuk menekan kecemasan sebaiknya hanya digunakan apabila cara lain tidak berhasil dan hanya digunakan dalam jangka pendek.
                
       Selain itu, Atwood juga mengemukakan beberapa hal yang harus dihindari oleh orang tua atau orang-orang terdekat ketika si penyandang Asperger mengalami ledakan emosi, antara lain :
          Affection, misalnya memeluk, mencium
          Punishment, misalnya memarahi atau memukul
          Talking, misalnya mengajak ngobrol atau mendiskusikan keadaan emosinya
          Becoming emotional, yaitu dengan menunjukkan kecemasan berlebihan
       Hal-hal tersebut hanya akan memperparah kondisi emosional penyandang asperger dan membuat mereka bertambah labil. Cara terbaik adalah dengan memberikan mereka waktu menyendiri namun dengan tidak meninggalkan mereka sendirian.



Devira,
2011


******


       Saya pernah menjadi terapis anak berkebutuhan khusus, beberapa tahun yang lalu. Tulisan ini saya buat di sela-sela waktu luang saya saat itu. Ooh...I really enjoy my experience as therapist of special needs children. Salah satu pengalaman yang banyak membantu kehidupan saya sekarang. Dan saya bersyukur, saya puas dengan masa muda saya dimana saya belajar banyak hal dan puas mengeksplorasi diri. InsyaAllah untuk kehidupan ke depan tidak ada penyesalan karena tidak berani mencoba dan takut tersesat. Memang terkadang kita harus tersesat berkali-kali untuk mendapatkan jati diri kita yang sesungguhnya. Sekarang tinggal menjalani track yang benar. InsyaAllah sukses terus meningkat di masa depan dan seterusnya ^_^


NILAI DASAR BUDAYA BATAK

Mmm..buka-buka file di laptop, nemu tulisan ini. Ternyata saya pernah membuat tulisan tentang nilai dasar budaya Batak. Sepertinya ini tugas kuliah jaman S1 atau cuma sekedar tulisan di waktu senggang. Saya kurang ingat. But seems like it's worth it to share. Silahkan membaca buat yang tertarik dengan budaya Batak atau yang sekedar ingin tahu. Feel free to read and comment ^_^ 




 *******


D
alam falsafah Batak ada 3 tujuan utama yang dikejar-kejar oleh setiap orang Batak, yakni HAMORAON (kekayaan), HAGABEON (perkembangan), dan HASANGAPON (kemuliaan).





Hamoraon ditunjukan oleh parsonduk na bolon (tempat makan bagi orang kelaparan) dan inganan marsingir (tempat berhutang). Bagi orang Batak memberi pinjaman adalah hal wajib, shg hanya bisa dilakukan oleh orang kaya dan inilah yg menunjukan kekayaannya. Di sisi lain meminjam adalah sesuatu yang tabu dan bisa dianggap ‘tarhatoban’ (terbeban seperti budak).

Hagabeon ditunjukan oleh kelengkapan partuturan, yakni segala tutur telah dimiliki/dipunyai. Dengan demikian orang tersebut dapat menjalankan perannya secara lengkap dan baik sbg dongan tubu, hula2 dan boru. Pergiliran peran seperti inilah yang merupakan cita2 dalam konsep Hagabeon. Itu sebabnya, sebenarnya sifat budaya Batak adalah tepa selira atau empati. Sifat ini dinyatakan dalam pesan somba marhula-hula, manat maradongan tubu, elek mardongan tubu. Dengan kata lain, ndang bahenonmu na so denggan tu borrum, sotung songon i annon dibahen hula-hulam. Kelengkapan partuturan dan pergiliran peran dalam adatini hanya mungkin dilakukan jika sudah punya anak banyak dan semakin sempurna apabila anak2 tsb sdh menikah dan punya anak dan cucu.

Yang terakhir yakni Hasangapon, dicapai seseorang apabila memiliki kemampuan spt hagogon (kekuatan), hapistaron (kepintaran/keterampilan), habisukon (kebijaksanaan) yg mana kemampuan tsb diberikan/dilakukan untuk menolong masyarakat atau orang-orang yang dalam kesulitan. Jadi, orang-orang yang memiliki hagogon, huaso, tapi tidak menggunakannya untuk kepentingan publik bahkan merugikan masyarakat atau menyusahkan org tidaklah sangap. Tidaklah sangap Jenderal Maraden Panggabean dan anggoya-anggota tim damainya, Juan Felix Tampubolon dan para pengacara Soeharto, tukang-tukang Intelektual bayaran (Affan Gafar, Indria Sumego, Yusril Ihza Mahendra), dll.

17 +16 = 33

Berkaitan dengan konsep Hagabeon, ada sebuah ungkapan “maranak sappulu pitu marboru sappulu onom” yang artinya punya anak laki2 17 dan anak perempuan 16, yang acapkali kita dengar dalam upacara adat perkawinan Batak. 33 secara nominal bukanlah angka yang kecil dalam sebuah keluarga inti. Apakah ungkapan itu realitas, utophia (khayalan) atau harapan? Dalam adat Batak anak itu adalah investasi kekayaan dan kekuatan. Maka, dengan punya anak banyak investasinya semakin banyak pula.

Berbeda dengan masyarakat Minang Kabau yang mengagungkan anak perempuan (matrimonial), Batak sangat mengutamakan anak laki2 (patrimonial). Jumlah anak laki2 yang lebih banyak dari perempuan dalam ungkapan di atas, merupakan cerminan sangat patrimonialnya etnis ini. Anak laki lebih diutamakan dalam perlakuan, peluang dan warisan, terutama anak laki2 sulung karena dia ditempatkan sebagai pengganti ayahnya.

Kedudukan anak perempuan Batak 

Dalam budaya Batak, laki-laki lah yang disebut anak sedangkan anak perempuan disebut boru. Ini jelas dari penulisan nama. Anak laki2 di belakang namanya langsung memakai marga, sedangkan anak perempuan dibuat boru. Contoh; anak laki-laki diberi nama Parlindungan Hutabarat dan anak perempuan diberi nama Lastiur boru Hutabarat atau lastiur br Hutabarat.

Anak laki-laki Batak dianggap sebagai tondi (jiwa) dalam sebuah ripe (keluarga) dan penerus generasi atau silsilah marganya. Ketiadaan anak laki-laki dalam sebuah keluarga Batak dianggap tlh memutuskan mata rantai darah dagingnya. Harapan mereka semakin banyak anak maka perkembangan marganya semakin luas, terutama anak laki-laki karena akan meneruskan marganya pada anak dan cucunya.

Setiap keluarga baru Batak pasti selalu berharap segera mendapat keturunan laki2. jika yang dilahirkan sang istri adalah anak perempuan, anak tersebut biasanya diberi nama ‘romaito’ (datanglah saudara laki-laki) atau ‘roitona’ (datang saudara laki2nya) dsb sebagai tangiang (doa) akan kehadiran adik laki-laki bagi anak tsb. Namun apabila sang istri belum juga memberi anak laki-laki, maka poligami pun terjadi lepas dari kata setuju/tidak setujunya istri. Karena dalam prinsipnya, kegagalan mendapatkan anak laki-laki adalah kesalahan istri sepenuhnya.

Walaupun bersifat patrimonial, Batak tidaklah murni patriachat, yaitu suami mencari nafkah buat rumah tangga, melindungi dan melakukan kontrol sedangkan istri bertugas melahirkan anak (Pelly). Ada beberapa kenyataan bahwa peran rumah tangga banyak berada di tangan istri. Mereka yang berusaha spt bertani, berdagang (marengge-rengge), membina dan menyekolahkan anak serta memberi restu pada calon suami putrinya. Hampir semua urusan keluarga dipegang oleh istri, suami hanya memegang secondary role.

Martarombo 

Memiliki banyak anak berarti persebaran marga akan semakin meluas. Oleh karena itu diperlukannya martarombo/martutur. Martarombo digunakan untuk mengetahui identitas seseorang Batak agar setiap keluarga  terpelihara rasa kekeluargaan dan kekerabatannya.

Pada pertemuan pertama, biasanya yang ditanyakan pertama sekali adalah marga. Seolah nama tidak begitu penting. Dan bila ternyata satu marga, pertanyaan akan diteruskan dengan nomor atau peringkat keberapa dst, sampai diketahui siapa yang bertaraf adik, anak atau cucu. Dengan begitu hubungan kekeluargaan tetap terpelihara dan hal2 yang ditabukan dalam tata hubungan antar marga dan perkawinan dapat dihindari.

Mengawini perempuan satu marga adalah pantangan karena dianggap masih satu darah. Dlm sistem perkawinan, adat Batak sangat menganjurkan eksogami (kawin dengan perempuan dari marga atau daerah lain) dan sistem pariban (cross-causin) karena dapat memperkuat kekeluargaan, pertalian dengan keluarga ibu tidak terputus dan karena kepentingan warisan.

Pembaharuan telah terjadi

Kebudayaan itu bersifat dinamis (Carol R Ember). Begitu pula dengan Costum Batak telah berubah seiring dengan perjalanan sejarah dan tantangan zaman dalam berbagai kehidupan. Masuknya agama Islam dan Kristen ke daerah ini berimplikasi pada perubahan berupa akulturasi, inovasi, difusi dan adaptasi.

Seperti halnya masyarakat Mandailing, masuknya ajaran Islam telah merubah aturan perkawinan budaya Batak. Islam hanya melarang perkawinan dengan muhrim, sedangkan perkawinan dengan boru tulang, satu marga diperbolehkan selama bukan muhrim.

Ajaran Kristen yang mendominasi masyarakat Toba melarang adanya poligami dan perceraian dengan konsekuensi anak laki-laki yang dilahirkan hasil poligami/bukan dari perkawinan yang pertama tidak direstui oleh gereja.

Patrimonialisme masyarakat Batak dan ambisi untuk memperoleh banyak anakpun telah bergeser karena timbulnya kesadaran masyarakat Batak akan pendidikan dan mobilitas penduduk. Kuantitas bergeser ke arah kualitas anak untuk mampu hidup dan bersaing di era globalisasi. Pepatah ‘maranak sappulu pitu marboru sappulu onom’  telah ditransformasikan menjadi ‘bintang na rumiris ombun nasumorop,dua atau tiga anak ido nariris (ideal) jala natorop (besar) asal ma goppis-goppis (sehat) jala momok (gemuk).

Dengan falsafah tersebut ditambah dengan program KB yang digencarkan pemerintah serta tuntutan kesetaraan gender yang sekarang sedang marak-maraknya, masyarakat Batak sdh menganggap anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama karena mereka adalah anugrah Tuhan yang harus diterima, dididik agar kelak akan membesarkan nama baik keluarganya.

Posisi istri dalam rumah tangga juga mengalami evolusi ke arah kesetaraan. Namun, adalah mustahil Batak menjadi matriachat.



Referensi: - http//www.yahoo.com
                 - Sinar Indonesia Baru
                 - Mingguan Bonopasogit


Devira Sari
2006


Senin, 26 Maret 2018

PUISI : MASIH TENTANG SINABUNG

MASIH TENTANG SINABUNG


demi bara yang menggelegak dalam perutmu

sungguh tuhan maha kuasa atas ciptaan-nya

tak akan salah meski senoktah


muntah tumpah ruah

merah seperti darah yang menyala-nyala

abu dan debu menyatu

daun-daun berayun

luruh tanpa berpeluh pun mengaduh

kering meng-arang

nyawa-nyawa sirna

jerit gentar dan perut lapar

menunggu bencana berlalu



Devira
Januari, 2015

(telah terbit di Harian Analisa, 5 Agustus 2016) 








Sabtu, 24 Maret 2018

Tentang Angsana

Pernah dengar pohon Angsana?

Pohon Angsana memiliki nama ilmiah Pterocarpus Indicus, merupakan pohon berbunga yang menghasilkan kayu keras kemerah-merahan berkualitas tinggi. Pohon yang juga dikenal sebagai Narra Tree ini dapat tumbuh sangat besar dengan tinggi mencapai 40m dan gemang mencapai 350cm.

Karena mahkotanya yang rindang, Angsana kemudian juga populer sebagai tanaman peneduh dan penghias tepi jalan di perkotaan. Pohon ini merupakan pohon identitas nasional Filipina, dan juga identitas provinsi-provinsi Chonburi dan Phuket di Thailand. Pohon ini banyak dijumpai di daerah tropis seperti di Indonesia.

Angsana, salah satu pohon favorit saya.

Yang menarik dari pohon ini adalah bunga kecilnya yang harum berwarna kuning dan mekar secara kolektif. Bunga-bunga ini mudah berguguran dan menciptakan hujan bunga yang menutupi jalanan dengan warna kuning cerah. Angin akan menyebarkan aroma khasnya di sepanjang hari. Membuat kita betah berlama-lama di bawahnya, menikmati setiap momennya.









Rabu, 21 Maret 2018

IJINKAN AKU PAMIT

: JOGJAKARTA



Selamat malam, Jogjakarta 

Selamat tinggal 

Ijinkan aku mengecupmu sebelum kembali ke pelukan kotaku 

Tempat dimana bunga-bunga bermekaran dan udara sejuknya memanggilku pulang

Mungkin malam ini aku akan memimpikanmu, mungkin juga tidak, aku tak tahu

Namun syukur akan kupanjatkan atas takdir-Nya 

Mempertemukanku denganmu, mengenalmu, bercengkrama dan berbagi mimpi denganmu

Semoga suatu saat nanti kita bertemu lagi, saat hujan tak sederas hari ini

Semoga kenangan tak lekang atas nama cinta-Nya

InsyaAllah. 


Devira,
Februari, 2018


"Hamemayu hayuning bawana"


RISALAH DARI BATAS JOGJA

Eccedentesiast


Seperti apakah kenangan yang menggelayut di pelupuk matamu itu? 
Hingga mampu membuatnya selalu berinai, berderai. 
Apakah sama halnya dengan reruntuhan bersejarah yang bergeming dalam dingin, di batas Daerah Istimewa ini? 

Sementara angin selalu berlalu lalang entah apa maksud dan tujuannya. 
Menggoda? 
Atau menyapa? 
Atau malah hanya tak sengaja berpapasan. 
Namun masih saja bebatuan itu bungkam. 
Kokoh dengan kesetiaan pada dia yang menorehkan ukiran2 di tubuhnya, serta yang menjulangkan mimpi2nya hingga membelah awan2 di langit. 

Ya, dia setia. 
Tapi bagaimana dengan dirimu? 
Diam-diam dalam tangismu di selaksa malam, engkau memaki dirimu sendiri. 
"Bodoh!" 
Kebodohan yang kau sangkal di wajahmu. 
Jika saja perisai itu luruh, sungguh hatimu sangat mengetahui kebenarannya.


Devira,
Jogja, Feb 2018

"Hamemayu hayuning bawana"