Mmm..buka-buka file di laptop, nemu tulisan ini. Ternyata saya pernah membuat tulisan tentang nilai dasar budaya Batak. Sepertinya ini tugas kuliah jaman S1 atau cuma sekedar tulisan di waktu senggang. Saya kurang ingat. But seems like it's worth it to share. Silahkan membaca buat yang tertarik dengan budaya Batak atau yang sekedar ingin tahu. Feel free to read and comment ^_^
*******
alam falsafah Batak ada 3 tujuan utama
yang dikejar-kejar oleh setiap orang Batak, yakni HAMORAON (kekayaan), HAGABEON
(perkembangan), dan HASANGAPON (kemuliaan).
Hamoraon ditunjukan oleh parsonduk na
bolon (tempat makan bagi orang
kelaparan) dan inganan marsingir (tempat berhutang). Bagi orang Batak memberi
pinjaman adalah hal wajib, shg hanya bisa dilakukan oleh orang kaya dan inilah
yg menunjukan kekayaannya. Di sisi lain meminjam adalah sesuatu yang tabu dan
bisa dianggap ‘tarhatoban’ (terbeban seperti budak).
Hagabeon
ditunjukan oleh kelengkapan partuturan, yakni segala tutur telah
dimiliki/dipunyai. Dengan demikian orang tersebut dapat menjalankan perannya
secara lengkap dan baik sbg dongan tubu, hula2 dan boru. Pergiliran peran
seperti inilah yang merupakan cita2 dalam konsep Hagabeon. Itu sebabnya,
sebenarnya sifat budaya Batak adalah tepa selira atau empati. Sifat ini
dinyatakan dalam pesan somba marhula-hula, manat
maradongan tubu, elek mardongan tubu. Dengan kata
lain, ndang bahenonmu na so denggan tu borrum,
sotung songon i annon dibahen hula-hulam. Kelengkapan
partuturan dan pergiliran peran dalam adatini hanya mungkin dilakukan jika
sudah punya anak banyak dan semakin sempurna apabila anak2 tsb sdh menikah dan
punya anak dan cucu.
Yang terakhir
yakni Hasangapon, dicapai seseorang apabila memiliki kemampuan spt hagogon
(kekuatan), hapistaron (kepintaran/keterampilan), habisukon (kebijaksanaan) yg
mana kemampuan tsb diberikan/dilakukan untuk menolong masyarakat atau orang-orang
yang dalam kesulitan. Jadi, orang-orang yang memiliki hagogon, huaso, tapi
tidak menggunakannya untuk kepentingan publik bahkan merugikan masyarakat atau
menyusahkan org tidaklah sangap. Tidaklah sangap Jenderal Maraden Panggabean
dan anggoya-anggota tim damainya, Juan Felix Tampubolon dan para pengacara
Soeharto, tukang-tukang Intelektual bayaran (Affan Gafar, Indria Sumego, Yusril
Ihza Mahendra), dll.
17 +16 = 33
Berkaitan dengan
konsep Hagabeon, ada sebuah ungkapan “maranak sappulu pitu marboru sappulu
onom” yang artinya punya anak laki2 17 dan anak perempuan 16, yang acapkali
kita dengar dalam upacara adat perkawinan Batak. 33 secara nominal bukanlah
angka yang kecil dalam sebuah keluarga inti. Apakah ungkapan itu realitas,
utophia (khayalan) atau harapan? Dalam adat Batak anak itu adalah investasi
kekayaan dan kekuatan. Maka, dengan punya anak banyak investasinya semakin
banyak pula.
Berbeda dengan masyarakat Minang Kabau yang
mengagungkan anak perempuan (matrimonial), Batak sangat mengutamakan anak laki2
(patrimonial). Jumlah anak laki2 yang lebih banyak dari perempuan dalam
ungkapan di atas, merupakan cerminan sangat patrimonialnya etnis ini. Anak laki
lebih diutamakan dalam perlakuan, peluang dan warisan, terutama anak laki2
sulung karena dia ditempatkan sebagai pengganti ayahnya.
Kedudukan anak perempuan Batak
Dalam budaya
Batak, laki-laki lah yang disebut anak sedangkan
anak perempuan disebut boru. Ini jelas dari
penulisan nama. Anak laki2 di belakang namanya langsung memakai marga,
sedangkan anak perempuan dibuat boru. Contoh; anak laki-laki diberi nama
Parlindungan Hutabarat dan anak perempuan diberi nama Lastiur boru
Hutabarat atau lastiur br Hutabarat.
Anak laki-laki Batak
dianggap sebagai tondi (jiwa) dalam sebuah ripe (keluarga) dan penerus generasi
atau silsilah marganya. Ketiadaan anak laki-laki dalam sebuah keluarga Batak
dianggap tlh memutuskan mata rantai darah dagingnya. Harapan mereka semakin
banyak anak maka perkembangan marganya semakin luas, terutama anak laki-laki karena
akan meneruskan marganya pada anak dan cucunya.
Setiap keluarga
baru Batak pasti selalu berharap segera mendapat keturunan laki2. jika yang
dilahirkan sang istri adalah anak perempuan, anak tersebut biasanya diberi nama
‘romaito’ (datanglah saudara laki-laki) atau ‘roitona’ (datang saudara laki2nya)
dsb sebagai tangiang (doa) akan kehadiran adik laki-laki bagi anak tsb. Namun
apabila sang istri belum juga memberi anak laki-laki, maka poligami pun terjadi
lepas dari kata setuju/tidak setujunya istri. Karena dalam prinsipnya, kegagalan
mendapatkan anak laki-laki adalah kesalahan istri sepenuhnya.
Walaupun
bersifat patrimonial, Batak tidaklah murni patriachat, yaitu suami mencari
nafkah buat rumah tangga, melindungi dan melakukan kontrol sedangkan istri
bertugas melahirkan anak (Pelly). Ada beberapa kenyataan
bahwa peran rumah tangga banyak berada di tangan istri. Mereka yang berusaha
spt bertani, berdagang (marengge-rengge), membina dan menyekolahkan anak serta
memberi restu pada calon suami putrinya. Hampir semua urusan keluarga dipegang
oleh istri, suami hanya memegang secondary role.
Martarombo
Memiliki
banyak anak berarti persebaran marga akan semakin meluas. Oleh karena itu
diperlukannya martarombo/martutur. Martarombo digunakan untuk mengetahui
identitas seseorang Batak agar setiap keluarga
terpelihara rasa kekeluargaan dan kekerabatannya.
Pada
pertemuan pertama, biasanya yang ditanyakan pertama sekali adalah marga. Seolah
nama tidak begitu penting. Dan bila ternyata satu marga, pertanyaan akan
diteruskan dengan nomor atau peringkat keberapa dst, sampai diketahui siapa
yang bertaraf adik, anak atau cucu. Dengan begitu hubungan kekeluargaan tetap
terpelihara dan hal2 yang ditabukan dalam tata hubungan antar marga dan
perkawinan dapat dihindari.
Mengawini
perempuan satu marga adalah pantangan karena dianggap masih satu darah. Dlm
sistem perkawinan, adat Batak sangat menganjurkan eksogami (kawin dengan perempuan dari marga atau daerah lain) dan sistem pariban
(cross-causin) karena dapat memperkuat kekeluargaan, pertalian dengan keluarga
ibu tidak terputus dan karena kepentingan warisan.
Pembaharuan telah terjadi
Kebudayaan
itu bersifat dinamis (Carol R Ember). Begitu pula dengan Costum Batak telah
berubah seiring dengan perjalanan sejarah dan tantangan zaman dalam berbagai
kehidupan. Masuknya agama Islam dan Kristen ke daerah ini berimplikasi pada
perubahan berupa akulturasi, inovasi, difusi dan adaptasi.
Seperti halnya masyarakat Mandailing, masuknya ajaran Islam telah merubah aturan
perkawinan budaya Batak. Islam hanya melarang perkawinan dengan muhrim,
sedangkan perkawinan dengan boru tulang, satu marga diperbolehkan selama bukan
muhrim.
Ajaran
Kristen yang mendominasi masyarakat Toba melarang adanya poligami dan
perceraian dengan konsekuensi anak laki-laki yang dilahirkan hasil poligami/bukan
dari perkawinan yang pertama tidak direstui oleh gereja.
Patrimonialisme
masyarakat Batak dan ambisi untuk memperoleh banyak anakpun telah bergeser
karena timbulnya kesadaran masyarakat Batak akan pendidikan dan mobilitas
penduduk. Kuantitas bergeser ke arah kualitas anak untuk mampu hidup dan
bersaing di era globalisasi. Pepatah ‘maranak sappulu pitu marboru sappulu onom’
telah ditransformasikan menjadi ‘bintang na rumiris ombun nasumorop,dua atau tiga anak ido nariris (ideal) jala natorop (besar) asal ma goppis-goppis (sehat) jala momok (gemuk).
Dengan
falsafah tersebut ditambah dengan program KB yang digencarkan pemerintah serta
tuntutan kesetaraan gender yang sekarang sedang marak-maraknya, masyarakat
Batak sdh menganggap anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama karena mereka
adalah anugrah Tuhan yang harus diterima, dididik agar kelak akan membesarkan
nama baik keluarganya.
Posisi
istri dalam rumah tangga juga mengalami evolusi ke arah kesetaraan. Namun,
adalah mustahil Batak menjadi matriachat.
Referensi: - http//www.yahoo.com
- Sinar Indonesia Baru
- Mingguan Bonopasogit
Devira Sari
2006