EMPATI DAN PROFESI PSIKOLOG
Oleh : Devira Sari, Psikolog
Oleh : Devira Sari, Psikolog
🦋
Suatu siang selepas kuliah Filsafat tahun 2015 :
Saya : Kang jadi pembimbing saya ya...
Beliau : Anda semester berapa?
Saya : Semester satu, Kang
Beliau : Pembagian pembimbing semester berapa?
Saya : Semester tiga
Beliau : Saya punya tugas untuk Anda
Saya : Apa tugasnya?
Beliau : Empati. Saya mau lihat sejauh mana anda mampu menguasainya....saat kita mulai bimbingan nanti.
Beliau : Anda semester berapa?
Saya : Semester satu, Kang
Beliau : Pembagian pembimbing semester berapa?
Saya : Semester tiga
Beliau : Saya punya tugas untuk Anda
Saya : Apa tugasnya?
Beliau : Empati. Saya mau lihat sejauh mana anda mampu menguasainya....saat kita mulai bimbingan nanti.
🦋
Sepenggal kenangan bersama Prof. Sutardjo Wiramihardja, psikolog klinis di Universitas Padjadjaran. Saat itu kami mendiskusikan draft tesis yang telah saya persiapkan untuk beliau review. Saya masih ingat bagaimana gaya berpakaiannya yang santai, dengan flatcap, kacamata, dan tongkat untuk membantunya berjalan. Selain karena faktor usia, beliau memang sedang sakit keras. Namun sepertinya jiwanya menolak usia dan penyakit menjadi penghambat dalam hidupnya. Beliau tetap mengajar dan beraktivitas seperti biasanya. Beberapa bulan kemudian, saya ingat saya sedang berada di Malang untuk tugas praktek kerja. Qadarullah. Saya mendapatkan berita bahwa beliau telah meninggal dunia di Bandung.
Empati berasal dari Bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti "ketertarikan fisik" didefinisikan sebagai respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain. Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain (Baron & Byrne, 2005).
Mungkin memang ada orang-orang yang terlahir dengan empati tinggi dalam dirinya. Orang-orang yang berbakat psychic. Namun empati juga bisa dipelajari. Bagaimana mempelajarinya? Kalau merujuk dari guyonan anak-anak kampus psikologi, “Mesti depresi dulu baru mengerti perasaan orang depresi” atau at least hiduplah bersama orang depresi. Hehe...Ya gak seekstrim itu juga ya (walaupun biasanya hasilnya lebih mendalam). Memang benar tidak cukup memahami manusia hanya dengan membaca buku, apalagi sekedar cocoklogi dengan kriteria atau indikator tertentu. Namun sekarang sudah banyak media pembelajaran seperti youtube, facebook, kelas dan komunitas kesehatan mental online yang juga melayani sharing dan diskusi yang membantu kita belajar.
Menurut Prof. Sutardjo, sebenar-benarnya seorang psikolog klinis tidak cukup hanya dengan kecerdasan kognisi (IQ) yang tinggi saja, namun harus dibarengi dengan kecerdasan emosi (EQ) yang tinggi juga. Setelah saya pelajari, ternyata empati adalah manifestasinya. Empati adalah ketika seseorang telah berhasil menguasai dan menyeimbangkan IQ dan EQ nya. Bukan sekedar mengerti melainkan memahami. Bukan sekedar mengetahui melainkan merasakan.
Carl Rogers (1959), seorang psikolog aliran humanistik memperkenalkan pendekatan client centered. Dalam pendekatan ini, ada tiga karakter utama yang harus dimiliki seorang psikolog/terapis : Unconditional positive regard (menerima orang lain sebagaimana adanya), genuiness (tidak berpura-pura) dan accurate empathic understanding.
Accurate empathic understanding, tidak hanya sekedar empati saja, melainkan memahami kerangka referensi internal orang lain secara akurat, beserta komponen dan makna emosional yang berkaitan dengannya seolah-olah orang lain itu adalah dirinya sendiri, tanpa kehilangan kondisi “seolah-olah” itu. Artinya, mampu merasakan luka dan penderitaan yang akurat sama dengan yang dirasakan orang lain tanpa kehilangan kontrol terhadap diri sendiri. Mampu masuk secara total ke dalam dunia orang lain tanpa kehilangan jati dirinya sendiri. Mampu menyelam ke dalam hati terdalam orang lain tanpa ikut hanyut di dalamnya.
Accurate empathic understanding, tidak hanya sekedar empati saja, melainkan memahami kerangka referensi internal orang lain secara akurat, beserta komponen dan makna emosional yang berkaitan dengannya seolah-olah orang lain itu adalah dirinya sendiri, tanpa kehilangan kondisi “seolah-olah” itu. Artinya, mampu merasakan luka dan penderitaan yang akurat sama dengan yang dirasakan orang lain tanpa kehilangan kontrol terhadap diri sendiri. Mampu masuk secara total ke dalam dunia orang lain tanpa kehilangan jati dirinya sendiri. Mampu menyelam ke dalam hati terdalam orang lain tanpa ikut hanyut di dalamnya.
Accurate empathic understanding, bersamaan dengan dua karakter lainnya adalah karakter yang membedakan profesi psikolog dengan profesi lainnya. Membedakan orang yang sekedar mempelajari ilmu psikologi dan orang yang mendalami ilmu psikologi. Lebih spesifik lagi, yang membedakan majoring klinis majoring lainnya. Itu makanya sebenar-benarnya psikolog klinis adalah orang yang loveable dan tidak mudah marah / tersinggung. Karena obatnya marah/benci/dendam adalah empati. Jadi sebelum jatuh marah sudah lebih dahulu paham kondisi orang yang yang menyinggungnya. Tidak mudah marah bukan berarti tidak bisa atau tidak pernah marah ya. Psikolog juga manusia biasa, pasti punya self protection. Justru kalau tidak bisa/pernah malah jadi tidak sehat psikolognya. Hanya saja dengan kecerdasan emosional yang baik maka pengendalian dirinya juga akan baik.
Empati, tugas yang diberikan pada saya saat semester satu untuk dinilai saat semester tiga. Nyatanya jangankan semester tiga, bahkan sampai sekarang saya masih jauh dari menguasi ilmu empati ini. Masih butuh banyak belajar dan butuh sekolah lagi.
Laa taghdob, wa lakal jannah – Jangan marah, bagimu surga (HR. Thabrani)
InsyaAllah para psikolog diganjar dengan surga. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
InsyaAllah para psikolog diganjar dengan surga. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Semoga bermanfaat.
Jakarta, 03 Februari 2020
🦋🦋🦋
Referensi :
Baron & Byrne. (2004). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga,
Baron & Byrne. (2004). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga,
Rogers, C. (1959). A Theory of Therapy, Personality and Interpersonal Relationships as Developed in the Client-centered Framework. In (ed.) S. Koch,Psychology: A Study of a Science. Vol. 3: Formulations of the Person and the Social Context. New York: McGraw Hill.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar