Sabtu, 22 Februari 2020

COMPASSION FATIGUE DAN EMPATHIC DISTRESS


COMPASSION FATIGUE DAN EMPATHIC DISTRESS
Oleh : Devira Sari, psikolog


Helping until it hurts?” - Kyle D. Killian


Compassion fatigue (CF) dan empathic distress (ED) merupakan istilah yang sering digunakan bergantian, merujuk pada masalah psikologis yang dialami para helping professional. Yang dimaksud dengan helping professional adalah orang yang bekerja dalam kapasitas menolong orang lain, antara lain psikolog klinis, konselor, dokter, perawat, paramedis, pekerja sosial, caregiver, dan profesi lain yang berhubungan dengan penanganan trauma dan meringankan penderitaan orang lain.

Saya sendiri baru mengetahui istilah compassion fatigue sekitar tahun 2015 dari dosen saya yang mengikuti sebuah seminar kesehatan mental. Kemudian, tahun 2016 saya dan teman-teman melakukan penelitian psikologi medis di sebuah rumah sakit di kota Cimahi, Jawa Barat. Teringat dengan konstruk yang relatif baru saya ketahui, saya berdiskusi dengan teman-teman saya dan kami sepakat menggunakan CF sebagai variabel penelitian. Dari situ saya banyak membaca dan mendapatkan pemahaman tentang istilah tersebut.

COMPASSION FATIGUE
Compassion fatigue pertama kali diperkenalkan oleh Charles Figley, seorang profesor di bidang psikologi dari Universitas Tulane, pada tahun 1990an. Compassion artinya perasaan yang mendalam dan kemampuan merasakan penderitaan orang lain sehingga muncul keinginan untuk membantu meringankan penderitaan tersebut. Sedangkan fatigue berarti kelelahan setelah berusaha keras atau karena melakukan sesuatu secara rutin (terus menerus). Figley mendefinisikan compassion fatigue sebagai konsekuensi perilaku dan emosi yang secara alami dihasilkan dari mengetahui pengalaman traumatis orang lain, dan stres yang dihasilkan dari membantu atau keinginan untuk membantu orang dengan trauma dan mengurangi penderitaan tersebut. CF adalah resiko profesi dalam merawat orang yang mengalami penderitaan emosional dan merupakan dampak langsung dari paparan trauma yang dialami klien, kemudian diperparah oleh kurangnya dukungan di tempat kerja dan di rumah.

GEJALA COMPASSION FATIGUE
CF mengacu pada kelelahan akibat menjalankan profesi membantu meringankan penderitaan orang lain secara terus menerus. Hampir sama seperti profesi lainnya, yang juga dapat mengalami kelelahan dikarenakan tugas yang mereka kerjakan terus menerus. Misalnya atlit akan kelelahan karena latihan fisik terus menerus, atau konseptor akan kelelahan karena memikirkan konsep terus menerus. Akan tetapi, penelitian oleh Figley menemukan bukti bahwa para helping professional mengalami sesuatu yang lebih kompleks daripada kelelahan bekerja seperti pada profesi lain. Yang dirasakan para helping professional lebih dari sekedar BURNOUT. Mereka mengalami kelelahan emosional dan fisik sampai kehilangan kemampuan mereka untuk terhubung dengan perasaan kasih sayang dengan orang lain (klien, kolega, dan orang yang dicintai). Gejala yang sering terjadi antara lain mimpi buruk, tidak bisa tidur, sulit bangun dari tempat tidur, kesulitan melupakan cerita traumatis yang diceritakan oleh klien mereka, sakit kepala, sakit di bagian dada, merasa kering dan kosong, merasa seperti tertular rasa sakit dari klien, penurunan kualitas kerja saat merawat pasien/klien, peningkatan kesalahan klinis, menurunnya kepekaan terhadap lingkungan sosial, mudah marah karena hal kecil, gangguan kecemasan dan depresi. Jika dibiarkan mereka pun akan membenci profesinya, membenci orang terdekat, membenci seluruh manusia, bahkan membenci diri sendiri sehingga dapat menyebabkan peningkatan tingkat pengajuan cuti dan pengunduran diri, serta stres dalam rumah tangga, perceraian, dan isolasi sosial. Gelaja ini disebut juga dengan secondary traumatic stress : stres traumatik yang “ditularkan” dari orang lain dan bukan dari pengalaman sendiri. Compassion fatigue menyerang alasan utama yang membuat penderitanya mencintai pekerjaan mereka, yaitu empati dan keinginan membantu orang lain.

EMPATHIC DISTRESS
Sekitar tahun 2018 saya baru mengetahui istilah ini dan merasa penasaran. Setelah membaca beberapa literatur, saya menemukan bahwa empathic distress makna dan gejalanya kurang lebih sama dengan compassion fatigue. Namun dari yang saya baca, Tania Singer, seorang peneliti dari laboratorium ilmu saraf sosial di Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Jerman kurang setuju dengan penggunaan istilah compassion fatigue. Menurutnya, yang menyebabkan gangguan dan kelelahan pada para helping professional bukan compassion melainkan empati. Menurut Singer, compassion tidak akan membuat kita kelelahan (fatigue). Empati yang berlebihan lah yang membuat kita kelelahan bahkan distres.

Empati adalah kemampuan merasakan perasaan yang sama dengan orang lain. Sedangkan distres adalah bentuk stres yang mengganggu kehidupan orang yang mengalaminya. Singer dan Klimecki (2011) mendefinisikan empathic distress sebagai “a strong aversive and self-oriented response to the suffering of others, accompanied by the desire to withdraw from a situation in order to protect oneself from excessive negative feelings”. Jadi, ED ini lebih bersifat self-oriented sehingga rasa tidak nyaman berasal dari dalam diri, dan memunculkan keinginan untuk menarik diri dari situasi tersebut untuk melindungi dari perasaan negatif yang berlebihan. Sementara compassion, menurut Singer, lebih bersifat other-oriented sehingga semestinya dengan menolong orang lain akan otomatis mengurangi perasaan negatif, meningkatkan perasaan positif dan tidak mungkin membuat kelelahan (fatigue).

Menurut saya, kedua hanya persoalan istilah dan penggunaannya saja. CF itu lebih tepat digunakan dalam konteks profesional. CF adalah kombinasi dari burnout dan secondary traumatic stress. Dimana memang tugas utama mereka adalah memberikan compassion dan terus menerus terpapar luka emosional orang lain, terlepas dari apakah mereka melakukan pekerjaan tersebut karena motivasi internal (passion) atau bukan. Sementara ED lebih bersifat natural dan internal sehingga tidak hanya dapat dialami oleh para helping professional. Orang awam juga dapat mengalami ED.

Beberapa orang yang saya kenal mengalami ED tidak bekerja di bidang profesi yang melibatkan compassion, bahkan tidak memiliki profesi sama sekali. Namun, mereka memang dianugerahi Tuhan empati yang begitu besar, sebagai bawaan lahir dan/atau karena sudah mengalami pengalaman pahit dalam hidupnya. Jadi mereka tidak punya tugas/tanggung jawab untuk memberikan apapun pada orang lain. Saking besarnya empati yang mereka miliki sampai tak terkendali, sehingga menyebabkan distress dan mengganggu kehidupan orang tersebut. Tubuh mereka seperti spons yang mampu menyerap semua emosi yang ada di sekitar mereka dan merasakannya seperti emosi mereka sendiri. Mereka bahkan sering kali kesulitan membedakan mana emosi dari dalam diri mereka dan mana emosi yang datang dari luar diri mereka. Hal ini secara alamiah mendorong mereka untuk meringankan penderitaan orang lain sebagai satu-satunya cara untuk meringankan penderitaan yang mereka rasakan, sebagai suatu tanggung jawab. Hanya saja sering kali mereka mengalami kewalahan dan merasa bersalah karena tidak mampu melakukan apa-apa untuk membuat perubahan. Distres ini jika tidak terselesaikan dapat memunculkan ide bunuh diri bahkan sampai melakukan tindakan melukai/mencelakai diri sendiri. Biasanya orang-orang ini lah yang termotivasi untuk menjadi helping professional, walaupun pada akhirnya belum tentu berprofesi sebagai helping professional. Malah ada pula yang menolak menjadi helping professional dan menghindari lingkungan yang penuh penderitaan supaya tidak perlu merasakan empathic distress.

PENYEBAB DAN PENCEGAHAN CF/ED
Penting untuk menyadari penyebab dan gejala terjadinya dari CF maupun ED, khususnya untuk para helping professional. Selain faktor kepuasan pekerjaan (pendapatan yang tidak memadai, organisasi yang tidak berfungsi dengan baik, masalah dengan rekan dan atasan), orang yang paling mungkin terkena CF/ED ini adalah yang memiliki trauma masa lalu yang belum selesai dan yang self care- nya buruk.
Orang yang bekerja sebagai helping professional sering awalnya tertarik pada bidang ini karena alasan personal seperti “saya tahu rasanya hidup dalam kesusahan”, “tidak tahan melihat penderitaan orang lain”, “ingin membantu' dan “untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik”. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar 60% dari individu yang memilih untuk menjadi helping professional memiliki sejarah trauma atau pengalaman kehilangan atau menyaksikan orang dekat yang berjuang menghadapi isu kesehatan mental, kecanduan atau peristiwa traumatis. Ini berarti orang-orang ini lebih rentan untuk mengembangkan masalah kesehatan mental dan dapat terpicu oleh cerita traumatis dari klien mereka, terutama jika mereka sendiri belum sembuh.

Para helping professional harus melakukan asesmen terhadap diri sendiri untuk benar-benar mengenali diri, seperti pengalaman masa lalu, luka hati yang belum selesai, hal-hal yang tidak disukai, dan hal-hal yang dapat membuat bahagia. Untuk mencegah CF/ED juga butuh bantuan dan support orang terdekat, seperti pasangan, keluarga, rekan kerja. Banyak helping professional merasa kesulitan menemukan orang yang memahami dan mendapatkan support. Mereka sering dianggap terlalu memikirkan orang lain, atau malah dimarahi dan dilarang karena melakukan perbuatan yang tidak menguntungkan diri sendiri. Padahal hal tersebut terjadi secara natural. Justru kalau tidak peduli maka rasanya sama dengan menyakiti diri sendiri. Kalau boleh memilih mungkin akan lebih tenang dengan tidak peduli dan memikirkan diri sendiri saja. Hal-hal seperti ini yang mesti dipahami dan diterima oleh orang-orang di sekeliling para helping professional. Terkadang seseorang tidak menyadari dirinya sedang mengalami CF/ED, maka diharapkan orang terdekatnya untuk lebih peka dengan gejala yang timbul. Caranya dengan ikut membantu penderita CF/ED ini menyelesaikan tugasnya dan menyingkirkan hal-hal yang dianggap mengganggu. Biasanya penderita CF/ED ini tidak akan berhenti sebelum tugasnya selesai. Memarahi, melarang apalagi maksanya berhenti hanya akan memperburuk keadaannya, bahkan akan membuatnya membenci Anda.

Hal paling penting untuk mencegah atau mengobati CF/ED adalah dengan mempraktekkan self care (self love). Seseorang tidak mungkin menuangkan air dari teko yang kosong. Tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Maka penuhi dulu diri sendiri dengan compassion sebelum memberikan compassion itu pada orang lain. Kita akan sulit membahagiakan orang lain jika diri sendiri belum bahagia. Luangkan waktu untuk me-time, lakukan hobi, kembangkan bakat, meditasi, traveling, menonton stand up commedy, berkumpul dengan teman-teman dan bersenang-senang, atau kegiatan lain yang disukai.


Semoga bermanfaat
Jakarta, 22.02.20202


*******


Referensi :
Figley, Charles R. 2012. Encyclopedia of trauma. SAGE Publications, Inc. United States of America

Klimecki & Singer. 2011. Empathic Distress Fatigue Rather Than Compassion Fatigue? Integrating Findings from Empathy Research in Psychology and Social Neuroscience. https://www.researchgate.net/publication/288980407_Empathic_Distress_Fatigue_Rather_Than_Compassion_Fatigue_Integrating_Findings_from_Empathy_Research_in_Psychology_and_Social_Neuroscience/link/57b1a01108aeb2cf17c56026/download

Radey, Melissa; Figley, Charles R. 2007. The Social Psychology of Compassion. Clinical Social Work Journal. 35:207–214 DOI 10.1007/s10615-007-0087-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar