DAMPAK
JANGKA PANJANG BULLYING
Oleh : Devira Sari, Psikolog
Kemarin seorang guru BK berdiskusi
dengan saya mengenai kasus bullying yang terjadi di sekolahnya. Teringat ada
keinginan menulis tentang bullying, tapi belum sempat saya lakukan. Saya ada
membaca beberapa artikel dan penelitian tentang bullying. Salah satunya adalah
sebuah penelitian menarik terkait dampak jangka panjang bullying.
Penelitian ini berlangsung kurang
lebih 17 tahun, dengan melibatkan tiga kelompok anak yaitu
kelompok anak yang
hanya menjadi korban bully, kelompok anak yang hanya menjadi pembully, dan
kelompok anak yang menjalankan kedua peran (korban yang menjadi pembully).
Kemudian dilihat apakah mereka menderita gangguan kesehatan mental seperti
gangguan depresi, gangguan kecemasan (seperti kecemasan umum, PTSD, OCD, dan
lain-lain), ketergantungan zat, dan gangguan kepribadian antisosial, sesuai
panduan DSM-4.
Berikut saya ringkas hasil
penelitian tersebut:
1. Anak-anak yang hanya menjadi
korban (yang tidak pernah membully orang lain) memiliki risiko lebih besar
untuk gangguan depresi, gangguan kecemasan, general anxiety disorder , gangguan
panik, dan agorafobia saat dewasa.
2. Anak-anak yang melakukan tindakan
bullying kemungkinan mengembangkan conduct
disorder. Orang dewasa yang pernah menjadi pembully (dan tidak pernah
dibully) tidak memiliki risiko yang sama untuk gangguan kesehatan mental. Risiko
mereka adalah gangguan kepribadian antisosial.
3. Resiko paling buruk adalah pada anak-anak
yang menjadi korban bully sekaligus pembully. Mereka mengalami semua jenis
gangguan depresi dan kecemasan, dan paling sering mengembangkan ide bunuh diri,
gangguan depresi, kecemasan dan gangguan panik, dibandingkan dengan kelompok
peserta lainnya. Faktanya, sekitar 25% dari peserta ini mengatakan mereka
memiliki pikiran untuk bunuh diri saat dewasa muda, dan sekitar 38% memiliki
gangguan panik.
4. Setelah mengendalikan
variabel-variabel tertentu seperti gangguan kejiwaan masa kanak-kanak, pelecehan,
status sosial ekonomi, kesulitan dan ketidakstabilan keluarga, serta beberapa hal
ini, tetap dampak ini masih ada. Korban bully masih memiliki risiko lebih besar
untuk gangguan kecemasan. Mereka yang menjalankan kedua peran (korban sekaligus
pembully) memiliki risiko paling besar untuk mengalami depresi dan gangguan
panik. Sementara Pembully tetap hanya memiliki risiko lebih besar untuk
mengembangkan gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder).
5. Pria lebih tinggi dalam risiko melakukan tindakan bunuh diri,
sedangkan wanita lebih beresiko mengalami agorafobia (cemas jika berada di
tempat umum dan tidak ada yang menolong saat bullying terjadi kembali).
Studi tersebut membuktikan bahwa menjadi
korban bullying faktor risiko untuk masalah emosional yang serius hingga ke
masa dewasa. Sementara pembully tidak mengalami gangguan emosional dan lebih ke
gangguan kepribadian, kecuali mereka dulunya pernah korban bullying (membully
karena pernah dibully). Gangguan psikologis ini tidak hilang begitu saja karena
tumbuh dewasa dan tidak mengalami bullying lagi. Dampak ini akan menetap
bersama mereka. Jika kita dapat mencegahnya sekarang, kita dapat mencegah
sejumlah besar masalah di masa depan.
Semoga
bermanfaat.
Jakarta,
25 Februari 2020
Referensi
;
William E. Copeland, PhD; Dieter Wolke, PhD; Adrian Angold, MRCPsych; et al. 2013. Adult Psychiatric
Outcomes of Bullying and Being Bullied by Peers in Childhood and Adolescence. . https://jamanetwork.com/journals/jamapsychiatry/fullarticle/1654916
Tidak ada komentar:
Posting Komentar