Selasa, 25 Februari 2020

DAMPAK JANGKA PANJANG BULLYING


DAMPAK JANGKA PANJANG BULLYING
Oleh : Devira Sari, Psikolog

Kemarin seorang guru BK berdiskusi dengan saya mengenai kasus bullying yang terjadi di sekolahnya. Teringat ada keinginan menulis tentang bullying, tapi belum sempat saya lakukan. Saya ada membaca beberapa artikel dan penelitian tentang bullying. Salah satunya adalah sebuah penelitian menarik terkait dampak jangka panjang bullying.

Penelitian ini berlangsung kurang lebih 17 tahun, dengan melibatkan tiga kelompok anak yaitu 
kelompok anak yang hanya menjadi korban bully, kelompok anak yang hanya menjadi pembully, dan kelompok anak yang menjalankan kedua peran (korban yang menjadi pembully). Kemudian dilihat apakah mereka menderita gangguan kesehatan mental seperti gangguan depresi, gangguan kecemasan (seperti kecemasan umum, PTSD, OCD, dan lain-lain), ketergantungan zat, dan gangguan kepribadian antisosial, sesuai panduan DSM-4.

Berikut saya ringkas hasil penelitian tersebut:

1. Anak-anak yang hanya menjadi korban (yang tidak pernah membully orang lain) memiliki risiko lebih besar untuk gangguan depresi, gangguan kecemasan, general anxiety disorder , gangguan panik, dan agorafobia saat dewasa.

2. Anak-anak yang melakukan tindakan bullying kemungkinan mengembangkan conduct disorder. Orang dewasa yang pernah menjadi pembully (dan tidak pernah dibully) tidak memiliki risiko yang sama untuk gangguan kesehatan mental. Risiko mereka adalah gangguan kepribadian antisosial.

3. Resiko paling buruk adalah pada anak-anak yang menjadi korban bully sekaligus pembully. Mereka mengalami semua jenis gangguan depresi dan kecemasan, dan paling sering mengembangkan ide bunuh diri, gangguan depresi, kecemasan dan gangguan panik, dibandingkan dengan kelompok peserta lainnya. Faktanya, sekitar 25% dari peserta ini mengatakan mereka memiliki pikiran untuk bunuh diri saat dewasa muda, dan sekitar 38% memiliki gangguan panik.

4. Setelah mengendalikan variabel-variabel tertentu seperti gangguan kejiwaan masa kanak-kanak, pelecehan, status sosial ekonomi, kesulitan dan ketidakstabilan keluarga, serta beberapa hal ini, tetap dampak ini masih ada. Korban bully masih memiliki risiko lebih besar untuk gangguan kecemasan. Mereka yang menjalankan kedua peran (korban sekaligus pembully) memiliki risiko paling besar untuk mengalami depresi dan gangguan panik. Sementara Pembully tetap hanya memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder).

5. Pria lebih tinggi dalam  risiko melakukan tindakan bunuh diri, sedangkan wanita lebih beresiko mengalami agorafobia (cemas jika berada di tempat umum dan tidak ada yang menolong saat bullying terjadi kembali).

Studi tersebut membuktikan bahwa menjadi korban bullying faktor risiko untuk masalah emosional yang serius hingga ke masa dewasa. Sementara pembully tidak mengalami gangguan emosional dan lebih ke gangguan kepribadian, kecuali mereka dulunya pernah korban bullying (membully karena pernah dibully). Gangguan psikologis ini tidak hilang begitu saja karena tumbuh dewasa dan tidak mengalami bullying lagi. Dampak ini akan menetap bersama mereka. Jika kita dapat mencegahnya sekarang, kita dapat mencegah sejumlah besar masalah di masa depan.

Semoga bermanfaat.
Jakarta, 25 Februari 2020

Referensi ;
William E. Copeland, PhDDieter Wolke, PhDAdrian Angold, MRCPsych; et al. 2013. Adult Psychiatric Outcomes of Bullying and Being Bullied by Peers in Childhood and Adolescence. JAMA Psychiatry. 2013;70(4):419-426. doi:10.1001/jamapsychiatry.2013.504. https://jamanetwork.com/journals/jamapsychiatry/fullarticle/1654916


Tidak ada komentar:

Posting Komentar